Jabat tangan sesama politisi itu mungkin saja terjadi, tapi jabat tangan itu kering"Surabaya (ANTARA News) - Perbedaan, di negeri majemuk Indonesia, adalah niscaya. Perbedaan baik yang prinsipil seperti agama, suku dan golongan maupun perbedaan penetapan awal Ramadan dan Idul Fitri terjadi di negeri ini.
Di kalangan politisi, perbedaan itu malah lebih pelik lagi, atau bahkan presiden dan mantan presiden juga bisa sulit bersilaturrahmi.
"Jabat tangan sesama politisi itu mungkin saja terjadi, tapi jabat tangan itu kering (tidak bermakna), karena kepentingan politis lebih mengedepan, meski dengan rekan sendiri," kata sosiolog Islam Zainuddin Maliki.
Menurut Zainuddin, politisi itu sangat disetir oleh kepentingan politik yang memang lebih menonjol dibandingkan dengan kepentingan lain.
"Bahkan, kebersamaan di kalangan politisi itu juga mengandung kepentingan politik, bukan kebersamaan yang alami dan berjalan secara ikhlas, apalagi para politisi di negeri kita umumnya masih belum dewasa," katanya.
Sebaliknya di kalangan awam, demikian Zainuddin, silaturrahmi berlangsung indah dan wajar, karena masyarakat lebih siap untuk berbeda ketimbang elite.
"Kalau ada masyarakat awam yang terlihat tidak siap dengan perbedaan itu biasanya karena mereka dimanfaatkan oleh kaum elite," kata Rektor Universitas Muhammadiyah, Surabaya, ini.
Dia mencontohkan cara awam menyikapi perbedaan awal Ramadan dan Idul Fitri yang tidak sampai memutuskan tali silaturrahmi antarmasyarakat. Masyarakat sudah menyadari kedua hal itu tidak mungkin dipaksakan atau disatukan, kecuali hasil ijtihad para tokoh agama memang sama.
Apalagi Islam mengajarkan bahwa perbedaan itu adalah rahmat, bukan bencana, bahkan bernilai ibadah bila diniati ibadah.
"Perbedaan itu jangan dijadikan hambatan untuk mewujudkan silaturrahmi atau ukhuwah (persaudaraan), baik ukhuwah Islamiyah (sesama Islam), wathoniyah (sesama bangsa), dan basyariyah (sesama manusia)," kata Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur itu.
Perbedaan hendaknya tidak membuat masyarakat tidak saling mengejek. Di lain pihak, masyarakat mesti mewaspadai upaya elite yang memanfaatkan perbedaan Lebaran atau lainnya untuk kepentingan mereka.
Tidak kering
Pandangan senada disampaikan Wakil Katib Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur KH Abdurrahman Nafis Lc.
"Idul Fitri yang dipadukan dengan budaya silaturahmi itu mencerminkan proses hablumminallah (komunikasi dengan Allah SWT) di saat puasa Ramadan menuju proses hablumminannas (silaturrahmi dengan sesama manusia) di saat Lebaran," ujarnya.
Namun ia melihat silaturrahmi antar elite kerap kali tidak bermakna atau kering.
"Silaturahmi itu bertemu muka dan bermaafan, tapi silaturrahmi di kalangan elit seringkali hanya berlangsung dua hari di saat momentum Idul Fitri, sedangkan di hari lain bisa berjauhan atau berseberangan," kata Wakil Ketua MUI Jawa Timur ini.
Dia melihat sulitnya elite bersilaturrahmi karena dipicu perbedaan konsep, program, visi dan misi yang lebih menonjol dibandingkan kepentingan agama itu sendiri.
"Misalnya, politisi dalam satu saudara pun bisa tidak bertemu karena konsep, program, visi dan misi yang memang tidak bisa bertemu, apalagi bila berbeda orang, berbeda parpol, dan berbeda interest (kepentingan)," katanya.
Ironisnya sulitnya bersilaturrahmi seringkali justru menjadi alasan untuk menyalahkan halalbihalal sebagai bid`ah atau bukan sunnah Nabi.
"Padahal, ibadah dalam Islam memang ada dua jenis yakni ibadah yang ditentukan waktu, tempat, dan caranya, seperti shalat, puasa, zakat, haji, serta ibadah yang tidak ditentukan waktu, tempat, dan caranya seperti dzikir, silaturrahmi, saling bermaafan," katanya.
Cara kedua kemungkinan memunculkan inovasi budaya, seperti silaturrahmi atau halalbihalal yang adalah khas Indonesia.
"Itu seperti perintah membaca dan tulis yang dalam budaya modern bisa ditekniskan menjadi profesi wartawan atau inovasi yang pernah dilakukan Khalifah Umar bin Khattab dalam salat tarawih," kata Abdurrahman. Maksudnya, Umar mengenalkan inovasi mengkoordinasikan tarawih berjamaah yang tak dilakukan Nabi Muhammad SAW.
Oleh karena itu, ibadah yang tidak ditetapkan caranya secara teknis, bisa kembali kepada inovasi, asal tidak menentang syariah. Taruhlah itu, silaturahmi diselingi joget, minuman keras, dan lupa waktu sehingga meninggalkan salat.
Jadi, ketimbang mengkambinghitamkan silaturahmi dan halalbihalal, semata karena besarnya perbedaan kepentingan politik, maka adalah lebih baik bagi elite untuk memanfaatkan momentum Idul Fitri demi kepentingan bangsa.
"Artinya, menyamakan kepentingan politis memang sulit, tapi bila kepentingan politis itu diarahkan untuk kepentingan bangsa akan memungkinkan untuk bertemu, sehingga silaturahmi saat Idul Fitri pun tidak menjadi kering," katanya. (*)
E011/T010
Oleh Edy M Ya`kub
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011