Surabaya (ANTARA) - Para pembuat tempe di Surabaya mengaku serba salah menghadapi para pelanggan yang terus melontarkan protes, khususnya terkait harga bahan baku kedelai yang saat ini mencapai Rp12 ribu dari sebelumnya Rp8 ribu per kilogram.

"Kalau saya naikkan harga tempe menyesuaikan bahan baku kedelai yang mahal, pelanggan protes karena kemahalan," kata Tumiasih, pembuat tempe di Jalan Sukomanunggal Gang 1, saat dikonfirmasi di Surabaya, Rabu.

Menurutnya para pelanggan memang menginginkan harga tempe yang murah atau setidaknya sama dengan yang dulu, sebelum harga kedelai melambung tinggi.

"Selanjutnya saya kecilkan ukurannya. Saya jual dengan harga tetap seperti dulu. Tetap saja menuai protes. Pelanggan bilang kok kekecilan. Kami jadi serba salah," ujarnya, mewakili pembuat tempe lainnya.

Di sepanjang Jalan Sukomanunggal Gang 1 Surabaya terdata ada 12 pembuat tempe kedelai dan delapan pembuat tempe menjes, sehingga terkenal sebagai salah satu Kampung Tempe di Surabaya. Mereka menggeluti usaha ini secara turun temurun dari keluarganya.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Puan Maharani di sela kunjungan kerjanya di Surabaya menyempatkan mampir ke kampung itu.

"Tadi juga ada penjual tahu di sana. Saya tanya masalahnya apa kalau sampai harga kedelai sebagai bahan baku utamanya mahal. Mereka sepakat kalau tidak menaikkan harga, ya membuat ukuran yang lebih kecil," katanya.

Menjelang datangnya bulan suci Ramadhan bagi umat Islam, Puan menekankan agar seluruh harga barang kebutuhan, termasuk tempe, terjangkau oleh masyarakat.

Untuk itu, dia mendorong pihak eksekutif atau pemerintah agar dapat menjaga stabilitas seluruh harga kebutuhan.

"Saya sebagai Ketua DPR RI kan hanya sebagai pengawas. Kalau pemerintah jangan hanya menangani secara ad hoc, melainkan juga harus bisa mengurai kelangkaan, serta menekan harga-harga barang yang dibutuhkan masyarakat," tuturnya.

Pewarta: Malik Ibrahim/Hanif Nashrullah
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022