Damaskus (ANTARA News) - Pasukan Presiden Suriah Bashar al-Assad membunuh dua pemrotes lagi Sabtu, sementara sekutu dekat Iran mengatakan pemerintahnya harus mengakui tuntutan "sah" rakyat dan memperingatkan kevakuman regional tak terduga apabila rezim itu jatuh.
Sementara, Wall Street Journal melaporkan Amerika Serikat dan Israel sedang memonitor dugaan senjata pemusnah massal Suriah, mengkhawatirkan bahan kimia dan rudal jarak jauh dapat jatuh ke tangan para teroris, lapor AFP.
Dalam pertumpahan darah terakhir, seorang demonstran tewas dan 10 luka-luka ketika pasukan bersenjatakan pentungan menyerang sekelompok orang usai berdoa di masjid Rifai di bagian barat ibukota Kafar Susseh, kata pengamat HAM Suriah.
Diantara yang terluka terdapat imam masjid tersebut, Osama al-Rifai.
Komite Koordinasi Lokal, yang merupakan kumpulan para aktivis di lapangan, mengonfirmasi kematian tersebut, namun mengatakan 12 orang terluka.
Demonstrasi juga dilaporkan di bagian Damaskus utara Roukn Edinne dan di Zabadani, 45 kilometer utara ibukota, kata pengamat HAM itu.
Secara terpisah, Pengamat HAM itu mengatakan satu orang tewas dan lima terluka di Kafar Nabel, di Idlib.
Pada Jumat, hari terakhir selama bulan puasa Ramadhan Muslim, pasukan keamanan membunuh paling sedikit tujuh orang ketika mereka menembaki pemrotes yang berpawai dalam jumlah puluhan ribu di seluruh Suriah dan bersumpah akan melengserkan rezim.
Pria kedelapan tewas dalam tahanan, kata keluarganya kepada kelompok hak asasi manusia.
Dipicu seruan yang diposting ke Internet, para pemrotes membanjiri jalan-jalan di utara, tengah dan selatan negara itu, meneriakkan "Bashar, kami tidak mencintaimu, bahkan jika anda mengubah malam menjadi siang," menurut para aktivis.
Dalam seruan terakhir kepada Assad agar diperhatikan, Iran menyerukan kepada pemerintahnya agar mendengarkan rakyatnya.
"Pemerintah harus mendengar tuntutan rakyatnya, apakah itu Suriah, Yaman atau negara lain," kata Menteri Luar Negeri Iran Ali Akbar Salehi di Tehran.
"Rakyat negara-negara ini memiliki tuntutan sah dan pemerintah harus menanggapi tuntutan ini sesegera mungkin," kata kantor berita ISNA mengutip pernyataannya.
Namun Salehi memperingatkan tentang penjatuhan rezim Suriah.
"Kevakuman di rezim Suriah akan memiliki dampak tak terduga terhadap wilayah dan para tetangganya," kata Salehi, menunjuk pada seruan para pemimpin Amerika Serikat dan Eropa kepada Assad supaya lengser.
Sementara, Wall Street Journal Jumat menyebut pejabat yang tak disebutkan namanya di Amerika Serikat dan Israel yang mengatakan kedua negara itu sedang memonitor senjata nonkonvensional Suriah yang dicurigai, khawatir bahwa kelompok-kelompok teror dapat mengambil keuntungan dari kerusuhan itu untuk mendapatkan bahan-bahan kimia dan rudal-rudal jarak jauh.
Surat kabar itu mengatakan dinas rahasia AS yakin Suriah memiliki cadangan signifikan gas mustard, VX dan Sarin dan rudal serta sistem artilleri untuk menembakkannya.
Para penyelidik Perserikatan Bangsa Bangsa juga belakangan menyimpulkan bahwa Damaskus telah secara rahasia membangun reaktor nuklir dengan bantuan Korea Utara sebelum jet-jet Israel menghancurkan tempat itu pada akhir 2007, kata laporan tersebut.
Di Perserikatan Bangsa Bangsa, Dewan Keamanan tetap terpecah menyangkut langkah-langkah terhadap rezim Assad, dimana Rusia dan China memblokir upaya-upaya untuk meloloskan sanksi-sanksi baru, termasuk embargo senjata total.
Pada Jumat, Rusia mengusulkan sebuah resolusi yang akan menghilangkan seruan Barat agar mengenakan sanksi terhadap Assad, mendesaknya hanya supaya mengimplementasikan reformasi dan kedua belah pihak supaya terlibat dalam dialog.
Hal itu bertentangan dengan mosi Eropa-AS yang akan memberi sanksi, yang Rusia telah mengisyaratkan akan memvetonya.
Di Perserikatan Bangsa Bangsa, seorang juru bicara mengatakan sebuah misi kemanusiaan yang baru saja kembali dari Suriah mendapati "kebutuhan mendesak" untuk melindungi warga sipil dari penggunaan kekerasan berlebihan dan melaporkan intimidasi yang meluas.
Misi tersebut adalah yang pertama kali yang diizinkan memasuki Suriah sejak Assad melancarkan penindasan mematikannya terhadap protes kaum oposisi ketika pecah pada pertengahan Maret.
Secara regional, penguasa Qatar mengatakan penggunaan kekerasan Suriah untuk membatalkan perbedaan pendapat adalah "sia-sia."
Perserikatan Bangsa Bangsa mengatakan lebih dari 2.200 orang tewas sejak protes mulai. (K004)
Penerjemah: Kunto Wibisono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011