Pamekasan (ANTARA News) - Sekretaris Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) Tajul Falah menyatakan, membutuhkan peran aktif para ulama di Madura, untuk menghapus praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi di wilayah itu.

"Perlu ada semacam fatwa khusus dari para ulama untuk melarang praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi," katanya di Pamekasan, Madura, Jatim, Jumat.

Menurut dia, seruan agar tidak ada kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi di Madura yang digelar setiap tahun memang telah disuarakan oleh berbagai ormas Islam dan aktivis pemuda yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Akan tetapi, hal itu belum bisa terlaksana dengan baik, bahkan Bakorwil sendiri selaku penyelenggara karapan sapi belum bisa mengambil kebijakan untuk melarang praktik kekerasan yang tahun ini rencananya akan digelar pada Oktober nanti.

"Selain peran ulama, perlu juga ada kesepakatan antara pemilik sapi karapan di Madura ini untuk tidak melakukan praktik kekerasan," kata Tajul Falah menjelaskan.

Hanya saja, sambung dia, hal itu membutuhkan proses yang lama. Disamping ada kesepakatan, masing-masing pemerintah daerah di Madura ini juga harus proaktif menyampaikan sosialisasi terkait hal itu.

Sebab, menurut dia, jika hanya pemilik sapi di satu kabupaten saja yang sepakat menghapus praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi, sedang kabupaten lain tetap dilakukan, maka hal itu pada akhirnya tidak akan terlaksana juga.

"Karena pada karapan sapi tingkat karesidenan di Madura ini kan lombanya semua pemilik sapi di Madura," katanya menjelaskan.

Secara pribadi, Sekretaris Bakorwil IV Madura ini mengakui, praktik penyiksaan dalam pelaksanaan karapan sapi dengan menggaruk pantat sapi dengan paku agar larinya kencang memang tidak manusiawi.

Sementara di kalangan pemilik sapi karapan sendiri muncul anggapan bahwa tanpa adanya praktik seperti itu tidak termasuk karapan. "Jadi mereka bilang kurang puas jika sapinya tidak digaruk dengan paku," tutur Tajul Arifin.

Padahal, sambung dia, dulu karapan sapi tanpa kekerasan. Joki karapan yang mengemudikan larinya sapi hanya menggunakan cambuk untuk membuat sapi-sapi yang beradu kecepatan itu lari.

"Kami sebenarnya sangat rindu praktik karapan sapi tanpa kekerasan sebagaimana dulu. Tapi kendalanya itu tadi, sudah dianggap biasa oleh para pemilik sapi karapan," katanya menjelaskan.

Selain kedua pendekatan, yakni melalui pendekatan tokoh ulama dan pendekatan kultural dengan meminta kesepakatan agar para pemilik sapi tidak melakukan praktik kekerasan, upaya lain yang bisa dilakukan ialah dengan pendekatan hukum.

Karapan sapi memperebutkan Piala Bergilir Presiden se-Eks Karesidenan Madura akan digelar di lapangan Soenarto Hadiwidjojo Jl Stadion Pamekasan, 23 Oktober 2011.

Sehari sebelumnya, digelar kontes sapi sonok di lapangan Bakorwil IV Jl Slamet Riady, Pamekasan. Festival ini merupakan kegiatan rutin tahunan di Pulau Madura, yang biasa digelar setiap pascapanen tembakau.

Menurut panitia pelaksana karapan sapi Nanang Sufianto, pasangan sapi yang boleh mengikuti karapan sapi terbesar ini adalah yang sebelumnya berhasil meraih juara di tingkat kabupaten dengan jumlah masing-masing kabupaten sebanyak enam pasangan sapi.

Keenam pasangan sapi karapan itu, terdiri dari tiga pasangan di bagian pemenang, sedang tiga pasangan lainnya di bagian kalah.

Nanang menjelaskan, yang dimaksud dengan pasangan bagian kalah yakni, pasangan sapi yang kalah akan tetapi diadu lagi hingga ditetapkan sebanyak tiga pasangan dari sapi yang kalah itu. "Sistem ini, sudah menjadi tradisi dalam karapan sapi," katanya.

(T.KR-ZIZ/M026)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011