pada tahun 2018 terjadi perkawinan 953 anak, tahun 2019 tercatat 845 anak dan tahun 2020 meningkat kembali 1.159 anak.
Samarinda (ANTARA) - Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kalimantan Timur, Noryani Sorayalita, mengungkapkan data perkawinan anak yang tercatat di Pengadilan Agama setempat menunjukkan angka yang fluktuatif dalam kurun empat tahun terakhir yakni sejak 2018 hingga 2021, namun tetap bertahan tinggi.
Soraya menjelaskan pada tahun 2018 terjadi perkawinan 953 anak, tahun 2019 tercatat 845 anak dan tahun 2020 meningkat kembali 1.159 anak.
“Pada tahun 2021 ada sedikit mengalami penurunan 70 anak, sehingga totalnya menjadi 1.089 anak. Meski demikian, jauh sebelum pandemi, perkawinan anak menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Indonesia,” kata Noryani Sorayalita pada Sosialisasi Peran Pengasuhan Anak dalam Upaya Pencegahan Perkawinan Usia Anak di Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2022, di Hotel Ibis Samarinda, Selasa.
Soraya menambahkan, perkawinan anak di Indonesia tidak terlepas dari adanya nilai-nilai yang tertanam di masyarakat sejak lama yang mendukung atau menormalisasi perkawinan anak, seperti perspektif agama yang berpandangan bahwa menikah adalah cara untuk mencegah terjadinya perbuatan zina.
“Selain itu, perspektif keluarga yang berpandangan bahwa perkawinan anak sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun, sehingga tidak menjadi masalah jika hal serupa tetap dilakukan dan perspektif komunitas yang beranggapan bahwa perempuan tidak perlu menempuh pendidikan yang tinggi. Pandangan-pandangan ini menjadikan perkawinan anak direstui dan difasilitasi oleh orangtua, keluarga dan masyarakat,” ujarnya.
Soraya mengatakan pemerintah telah berupaya untuk mencegah perkawinan anak terjadi, diantaranya mengubah batas usia minimal untuk perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun melalui UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perkawinan anak ujarnya, telah menjadi prioritas kebijakan pembangunan nasional di Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2020-2024).
Selanjutnya dalam Sustainable Development Goals (SDGs), pencegahan perkawinan anak masuk ke dalam tujuan kelima mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan.
"Kemudian, dalam Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA), pemerintah secara spesifik menargetkan penurunan angka perkawinan usia anak dari 11,21 persen pada tahun 2018 menjadi 8,74 persen pada akhir tahun 2024 dan 6,9 persen pada tahun 2030," tandasnya.
Soraya melanjutkan, dalam perlindungan anak, selain upaya kuratif juga diperlukan upaya preventif dan promotif agar meminimalisir terjadinya kasus perkawinan anak.
Keluarga atau orang tua merupakan garda terdepan yang berperan dalam mengasuh, mendidik dan membentuk karakter anak. Pengasuhan anak oleh orang tua merupakan salah satu kunci penting dalam sebuah keluarga yang akan menentukan baik buruknya karakter seorang anak kelak.
"Sementara DKP3A Kaltim menfasilitasi layanan informasi, konseling dan layanan rujukan terkait pengasuhan berbasis hak anak yang mudah diakses dan dikenal masyarakat melalui Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) Kaltim Ruhui Rahayu,” kata Soraya.
Ia berharap melalui kelembagaan Puspaga bisa terjadi peningkatan peran pengasuhan keluarga, meningkatkan kualitas kehidupan menuju keluarga sejahtera dan pemenuhan hak anak.
Baca juga: KPPPA: Angka perkawinan anak di 21 provinsi di atas angka nasional
Baca juga: Kemen PPPA libatkan Forum Anak cegah perkawinan anak
Baca juga: Angka dispensasi kawin tinggi Kemen PPPA segera sahkan panduan
Pewarta: Arumanto
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2022