"Diperkirakan, penutur berbahasa daerah Bali kini jumlahnya kurang dari satu juta jiwa," kata Kadisbud Suastika di Denpasar, Kamis.
Ia mengatakan, jika dibandingkan dengan penduduk Bali yang hampir mencapai empat juta jiwa, jumlah penutur sebanyak itu tentu tidak baik bagi kelangsungan dan kelestarian sebuah bahasa daerah.
Suastika menyebutkan, di lingkungan sebagian keluarga muda saat ini sudah sangat jarang yang menggunakan panggilan "meme-bapa" sebagai nama panggilan ibu dan ayah. Mereka lebih senang menggunakan panggilan dalam bahasa Indonesia.
"Memang tidak salah jika masyarakat Bali menggunakan bahasa Indonesia dan bahkan bahasa asing, tetapi mestinya tetap harus dikombinasikan dengan bahasa Bali," ucapnya.
Suastika menambahkan, jangan sampai orang Bali akhirnya tidak bisa berbahasa Bali karena telah melupakan "bahasa ibunya".
"Ke depan, saya melihat perlunya menggunakan bahasa Bali pada lingkungan kerja dan pendidikan. Atau istilahnya bisa dibuat semacam satu hari berbahasa Bali. Jadi setiap minggu, ada satu hari khusus yang mewajibkan para pekerja maupun pelajar harus berkomunikasi menggunakan bahasa Bali," ujarnya.
Dengan cara seperti itu, kata Suastika, setidaknya bagi anak-anak yang di lingkungan keluarga tidak pernah menggunakan dan bahkan tidak bisa berbahasa Bali, menjadi dapat mengenal bahasa daerahnya sendiri.
"Melalui cara ini, selain sebagai pengenalan kepada generasi penerus, sekaligus juga menjadi upaya pelestarian," ucapnya.
Rencananya, lanjut dia, pada Oktober 2011 akan dilangsungkan Kongres Bahasa Bali. Acara ini merupakan forum lima tahunan yang membahas tentang bahasa Bali dan juga bahasa daerah lainnya.
"Dalam kongres itu, persoalan bahasa dan aksara Bali yang mulai ditinggalkan oleh masyarakat Bali akan coba kami bahas, sehingga dapat dihasilkan strategi pemecahannya," katanya.
(T.KR-LHS/P004)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011