"Indonesia saat ini dikenal sebagai negara penghasil emas, perak, aluminium dan nikel yang saat ini juga ikutan naik pasca meningkatnya eskalasi konflik Rusia dengan Ukraina. Jika kita bisa mengoptimalkan peluang ini, ekonomi kita bukan hanya selamat dari ancaman defisit karena dampak naiknya harga migas, tapi juga bisa untung besar," kata Mahmud dalam keterangan resmi yang diterima, Selasa.
Menurutnya, berdasarkan hasil riset terkait perang-perang Asia saat perang dingin, tidak semua negara mengalami kerugian, defisit, ataupun krisis perdagangan maupun ekonomi. Beberapa negara justru diuntungkan oleh ketegangan konflik antar negara maupun perang terbuka.
Ia melanjutkan, untuk mendapatkan untung besar di tengah konflik antara Rusia dan Ukraina, menurutnya Indonesia memerlukan strategi yang jitu terkait pertambangan, baik di hulu maupun hilirnya, termasuk tentu saja terkait pembangunan smelter dan lain-lainnya.
"Di sinilah, Politik Bebas Aktif Indonesia menemukan relevansi dan signifikansinya," katanya.
Hanya saja sebagai negara net importir minyak bumi, harga minyak dan gas bumi yang semakin tinggi pasca konflik antara Rusia dan Ukraina, dalam jangka panjang dapat merugikan Indonesia.
Jika tidak disiasati, harga minyak bumi dan gas yang tinggi akan semakin membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang telah tertekan oleh pandemi COVID-19.
"Pertumbuhan ekonomi kita yang lumayan membaik tahun 2021, bisa jadi terdampak," katanya.
Baca juga: Kepemimpinan RI di G20 diharapkan mampu mediasi konflik Rusia-Ukraina
Baca juga: Indef: Konflik Rusia-Ukraina memperlambat pemulihan ekonomi Indonesia
Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022