Atambua, NTT (ANTARA News) - Pemerintah Timor Leste harus menyadari ketergantungan wilayah itu jauh sebelum melepaskan diri dari Indonesia melalui jajak pendapat 30 Agustus 1999, pada pasokan sembilan bahan pokok (semabko) dan kebutuhan lainnya pada Nusa Tenggara Timur (NTT). "Pemerintah Timor Leste harus membuka mata akan realitas pasokan sembako dari NTT bagi rakyat miskin di desa yang jauh dari Dili. Mereka harus berterima kasih kepada masyarakat NTT, bukan terus-menerus menganggap remeh masyarakat di sini, kata Uskup Atambua, Mgr. Anton Pain Ratu,SVD di Atambua, Minggu. Pasokan sembako dari Timor Barat, bukan baru terjadi setelah Timtim merdeka, tetapi berlangsung sejak wilayah itu masih dijajah Portugis tahun 1560 hingga 1975. Pasokan kebutuhan untuk orang Timtim ini terus berlangsung pada masa integrasi Timtim dengan Indonesia 1976-1999 dan setelah Timtim melepaskan diri dari Indonesia 30 Agustus 1999 hingga sekarang. "Realitas ini harus benar-benar disadari pemerintah Timor Leste agar mereka pun tidak terus-menerus merepotkan pemerintah dan masyarakat di NTT dengan berbagai persoalan dan insiden di tapal batas ini," katanya. Pemerintah dan rakyat Timor Leste, menurut dia, harus mengupayakan perdamaian bagi seluruh rakyat, baik yang berada di negara itu, maupun mereka yang memilih menetap di Indonesia sampai hari ini. Hanya, dia kembali menegaskan perdamaian ini hanya bisa terwujud, mengandaikan pemerintah Timor Leste memberikan amnesti bagi mereka yang pernah terlibat tindakan kekerasan masa. Dengan adanya amnesti, kata dia, proses rekonsiliasi dan repatriasi eks pengungsi akan berlanjut yang bermuara pada terciptanya perdamaian, tidak hanya di Timor Leste, tetapi juga di NTT. Sebagai salah satu pendamping masyarakat pedesaan di perbatasan NTT, Pastor David Amfotis, SVD, mengaku hingga kini masyarakat Timor Leste yang bermukim di desa-desa masih menerima pasokan sembako dan kebutuhan keluarga lainnya dari wilayah perbatasan NTT. Masyarakat miskin di desa-desa di Timor Leste, khususnya yang bermukim di tiga distrik perbatasan, yaitu Bobonaro, Covalima dan Oecusse, hampir setiap hari menerima pasokan sembako, BBM dan kebutuhan keluarga lainnya dari wilayah NTT, baik secara legal maupun ilegal melalui jalan tikus, katanya. Ketergantungan ekosnomi ini, menurutnya, tidak mungkin dipungkiri karena bagi rakyat Timor Leste di perbatasan dengan NTT itu sangat sulit mendapatkan bahan kebutuhan dari Dili yang jaraknya sangat jauh, dibandingkan dari NTT yang jadi tetangga terdekat. Apalagi, mengharapkan pengiriman barang-barang kebutuhan sehari-hari itu dari Australia dan Portugal. Jika terdapat barang-barang kebutuhan sehari-hari di Dili yang didatangkan dari Portugal, Australia, China dan sebagainya, lanjut dia, itu pun hanya dapat dibeli oleh kelompok masyarakat tertentu di Dili dan sekitarnya, bukan dibeli oleh semua rakyat Timor Leste hingga ke desa-desa. "Realitas inilah yang harus disadari oleh pemerintah dan Parlemen Timor Leste agar mereka tidak bersikap apatis terhadap berbagai gejolak di perbatasan yang sangat mengganggu kenyamanan hidup seluruh rakyat di perbatasan NTT, khususnya rakyat Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2006