Rusia pasti berharap sokongan ekonomi dari sejumlah negara tapi opsi ini terbatas, dengan hanya China yang paling bisa membantunya

Bisa ambruk

Penutupan akses SWIFT sebenarnya merugikan semua pihak, bahkan The Conversation menyamakan hal itu dengan "menembakkan senjata nuklir".

Tujuannya memang melumpuhkan ekonomi Rusia dan kemudian merusak kemampuannya dalam membiayai perang di Ukraina, tapi "senjata nuklir keuangan" ini juga merusak dunia secara keseluruhan.

Namun apa daya, karena Putin kian nekad, maka senjata nuklir keuangan itu pun diaktifkan.

Rusia kini bisa menghadapi ancaman ambruknya rubel, terhentinya operasional perbankan, hiperinflasi dan resesi besar, serta melonjaknya angka pengangguran.

Memang sistem perekonomian global juga bakal terdampak, tetapi Rusia bakal menjadi pihak pertama dan yang paling menderita akibat pengerahan senjata sanksi ekonomi paling maut itu.

Yang paling mengerikan adalah jika penutupan akses SWIFT itu mempengaruhi pula kemampuan bank sentral Rusia dalam mengakses ratusan miliar dolar AS dana dalam bentuk emas dan mata uang asing yang disimpannya di bank-bank sentral asing.

Itu bakal mempersempit ruang bank sentral Rusia dalam mengintervensi pasar uang, padahal ketika pasar uang buka lagi Senin ini semua orang seluruh dunia diperkirakan serempak melepas rubel, termasuk di dalam negeri Rusia.

Jika ini yang terjadi maka sistem keuangan Rusia akan terpukul hebat, bahkan ekonomi berdikari yang membuat Rusia sukses menghimpun cadangan devisa ratusan miliar dolar AS dan memangkas porsi utang sampai hanya 20 persen dari PDB, akan ikut tergerogoti.

Ini karena Rusia masih tergantung kepada sejumlah komoditas impor, termasuk chip komputer yang amat penting di antaranya untuk mengoperasikan mesin-mesin perang tercanggihnya.

Dan ketika impor komponen penting terhambat dan bersamaan dengan terhentinya kemampuan membayar impor karena akses pembayaran lintas batas ditutup, maka produksi dalam negeri pun terhenti.

Jika keadaan ini bertambah parah sampai tak bisa mengatasi defisit yang bisa tiba-tiba menggunung, maka Rusia akan terpaksa mencetak uang sehingga membuka pintu hiperinflasi.

Rusia pasti berharap sokongan ekonomi dari sejumlah negara tapi opsi ini terbatas, dengan hanya China yang paling bisa membantunya. Masalahnya, jika rubel sudah begitu dalam terdepresiasi, China mungkin tak mau lagi mengambil risiko.

Ketika semua ini terjadi, ekonomi Rusia pun di ambang ambruk. SWIFT itu pula yang pernah membuat Iran dan Venezuela tak bisa memanfaatkan minyaknya dan kemudian merusak kemampuan ekonomi mereka.

Tentu saja skala sanksi kepada Rusia jauh lebih besar ketimbang yang dijatuhkan kepada Iran dan Venezuela.

Rusia sendiri sudah memperkirakan skenario ini dan telah bersiap. Tapi apakah persiapan itu sudah cukup, jawabannya bakal terlihat pada hari-hari mendatang.

Yang pasti, lembar jawaban pertama sudah tersaji di pasar global mulai Senin ini.

Dan pergerakan harga di pasar keuangan global yang sejauh ini tak menguntungkan Rusia, kemungkinan besar terus bergerak berbanding tegak lurus dengan seberapa lama Rusia menginvasi Ukraina.


Baca juga: Rusia: Moskow akan reviu hubungan dengan negara yang jatuhkan sanksi
Baca juga: Kabar terkini krisis Ukraina, dari sanksi hingga pengungsi
Baca juga: AS berlakukan sanksi terhadap Putin dan pemimpin lain Rusia

Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2022