Rusia pasti berharap sokongan ekonomi dari sejumlah negara tapi opsi ini terbatas, dengan hanya China yang paling bisa membantunya

Memicu rush

Sergey Aleksashenko, mantan deputi gubernur Bank of Russia yang kini tinggal di AS, menyebutkan Rusia bakal menyaksikan soverign wealth fund (dana investasi khusus milik negara) kepunyaannya tiba-tiba raib.

"(Presiden Vladimir) Putin dan (mantan menteri keuangan Alexei) Kudrin bertahun-tahun memperkuat ini karena merencanakan sebuah perang besar," kata Aleksashenko seperti dikutip Reuters. "Kini perang sudah terjadi dan ternyata tak ada uang."

Di pasar keuangan sendiri, dampak penutupan akses SWIFT ini langsung nyata.

Di bursa Tokyo hari ini, Senin 28 Februari 2022, nilai kurs rubel terhadap dolar AS amblas 20 persen, sekalipun sejumlah mata uang Barat juga tumbang tapi tidak sedalam rubel.

Sentimen Tokyo ini hampir pasti menjalar ke Sydney, Hong Kong, dan Singapura yang jam buka bursanya berdekatan dengan Tokyo.

Akhirnya itu akan menciptakan sentimen serupa di bursa-bursa Eropa termasuk London dan Frankfurt, serta akhirnya Wall Street di New York yang menjadi benchmark pasar modal dan keuangan dunia.

Sejumlah analis pasar, di antaranya Roman Borisovich yang mantan bankir investasi Moskow, menyatakan pasar keuangan bakal bergejolak Senin ini.

Dia yakin otoritas Rusia tak bisa menghindarkan kejatuhan rubel. Namun mereka diperkirakan menghentikan perdagangan dan kemudian menjaga stabilitas rubel secara artifisial dengan cara tak lagi mengambangkan mata uangnya itu. "Tetapi ini menciptakan pasar gelap," kata Borisovich.

Di dalam negeri Rusia sendiri, sentimen SWIFT menciptakan rush di ATM-ATM. "Sejak Kamis lalu semua orang berburu ATM satu ke ATM lain untuk menarik uang. Ada yang beruntung, ada yang tidak," kata warga St Petersburg bernama depan Pyotr seperti dikutip Reuters.

Bank-bank Rusia seperti bank milik negara Sberbank berusaha menenangkan keadaan dengan mengatakan tak ada yang perlu dikhawatirkan dari pasokan tunai dan pembayaran online.

Bank VEB yang juga milik negara, memastikan sanksi tak akan menghentikan bank ini dalam membiayai proyek-proyek dalam negeri Rusia, sedangkan bank Otkritie yang di-bailout pada 2017 menjamin kartu ATM dan kartu kredit bank ini masih bisa dipakai di luar negeri.

Ironisnya, bank sentral Rusia menyarankan penduduk tak menggunakan kartu bank karena sistem pembayaran mobile di semua terminal atau toko online yang dioperasikan salah satu dari lima bank yang terkena sanksi terkeras Barat, sama sekali tak akan berfungsi.

Pemerintah Rusia sebenarnya jauh-jauh hari sudah memperkirakan hal ini. Untuk itu sejak lama mereka membangun sistem tandingan bernama System for Transfer of Financial Messages (SPFS).

Sistem ini mengirim sekitar 2 juta pesan pada 2020 atau seperlima dari lalu lintas internal keuangan Rusia. Sayang, SPFS yang hanya beroperasi selama hari kerja, kesulitan menarik anggota dari luar negeri.


Baca juga: Bank sentral Rusia berjuang tahan dampak sanksi keras Barat
Baca juga: Minyak melonjak karena peringatan nuklir Rusia saat sanksi meningkat


Selanjutnya: SWIFT ibarat menembakkan senjata nuklir

Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2022