Jakarta (ANTARA) - Wacana untuk menunda jadwal pemilu tiba-tiba saja menjadi bahan perbincangan yang hangat dan mengundang polemik di kalangan masyarakat.
Itu terjadi tepatnya ketika dua hari lampau, Muhaimin Iskhandar (Cak Imin) Ketua Umum PKB mengusulkan pilpres diundur satu atau dua tahun, yang jelas-jelas seketika menuai pro dan kontra.
Gagasan tersebut disampaikan Cak Imin usai mendengarkan masukan dari beberapa pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), analis ekonomi dan para pebisnis.
Jika Pemilu digelar pada 2024, ia khawatir masa transisi kekuasaan menyebabkan ketidakpastian pada sektor ekonomi dan bisnis.
Tak berhenti sampai di situ, pada hari berikutnya Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto mengucapkan hal yang sama. Keduanya mengaku mendapatkan masukan atau aspirasi langsung dari masyarakat untuk memperpanjang masa pemerintahan Jokowi.
Bahkan dalam hitungan jam, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan mengemukakan hal yang sama di hari yang sama itu juga.
Baca juga: Gelora: krisis di Ukraina jangan dijadikan ide tunda Pemilu 2024
Pernyataan-pernyataan tersebut, bertolak belakang dengan pendirian PDI Perjuangan yang masih tetap mengikuti trek jadwal pilpres pada 2024.
PDI Perjuangan menilai penundaan pilpres akan berdampak pada agenda demokrasi secara keseluruhan dan partai itu menganggap penundaan pilpres akan mencederai proses hukum.
Sementara Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) berpendapat penundaan Pemilu 2024 yang disuarakan beberapa pihak merupakan wacana yang tidak logis karena bertentangan dengan konstitusi dan demokrasi.
Menurut AHY, hal ini menjadi pernyataan yang tanpa dasar serta tidak sesuai dengan konstitusi karena ada masa kepemimpinan yang harus dipatuhi bersama, baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota.
Lebih lanjut, AHY juga menyoroti perihal kemunculan wacana penundaan Pemilu 2024 yang mengatasnamakan aspirasi rakyat. Menurutnya, klaim tersebut tidak berdasar dan tidak mewakili aspirasi seluruh rakyat di tanah air.
Dengan demikian, AHY memandang wacana penundaan Pemilu 2024 yang mengatasnamakan aspirasi masyarakat justru terkesan memainkan suara rakyat.
Baca juga: AHY sebut wacana penundaan Pemilu 2024 tidak logis
Lalu berkenaan dengan pemikiran bahwa penundaan Pemilu 2024 dibutuhkan agar Indonesia mampu berfokus pada pemulihan ekonomi pascapandemi COVID-19, menurutnya, hal tersebut tidak sepatutnya dijadikan alasan untuk menunda pesta demokrasi.
Keseriusan Berdemokrasi
Di sisi lain, Direktur Lembaga Riset dan Penelitian Indonesia (RISPENINDO), George Kuahaty, berpendapat wacana mundur atau tidaknya pemilihan presiden sebaiknya jangan terlalu cepat ditanggapi.
Meskipun situasi dan kondisi Indonesia dari sisi ekonomi akibat COVID-19 cukup signifikan namun ini bukanlah alasan untuk menunda agenda demokrasi.
Memang sangat disayangkan masa pandemi belum bisa diprediksikan kapan akan berakhir yang bertepatan dengan akan diselenggarakannya proses pemilu, pilpres, dan pilkada. Isu ini sangat penting untuk dibicarakan bersama, menurut George.
Sementara dosen dan pemerhati politik Sonny Majid berpendapat bahwa polemik yang mengundang pro dan kontra dari isu ini seharusnya sudah dihitung secara matang.
Jika pilpres dilaksanakan dalam situasi yang kondusif maka hal ini bisa saja berjalan dengan baik. Menurut dia, masyarakat saat ini memerlukan figur yang memiliki leadership kuat ketika sedang melewati masa-masa yang sulit.
Ekonomi melambat, politik memanas, kemungkinan konflik kepentingan tidak terelakkan. “Social unrest” akan dengan mudah terjadi secara sporadis. Memang perlu ada pegangan yang pasti untuk membuat kerentanan ini supaya tidak terjadi.
Baca juga: Pengamat: Penundaan pemilu picu krisis kepercayaan publik
Bangsa ini memang harus memilih apakah akan terus melaksanakan pilpres dalam situasi sulit atau menunda. Jika ditunda maka konsekuensi hukum dan aturan main yang sudah ditetapkan melalui undang-undang dan peraturan terkait harus dihadapi. Belum lagi akan berhadapan dengan resistensi masyarakat dan kelompok kepentingan.
Memang isu ini mungkin masih terlalu dini untuk dibahas. Namun bangsa ini patut mewaspadai keadaan yang menghadang. Siap atau tidaknya pelaksanaan pilpres tentulah bangsa Indonesia sendiri yang tahu. Hal ini jugalah yang akan menentukan sikap dan keseriusan dalam berdemokrasi.
Sonny justru tetap menyarankan agar seluruh lapisan masyarakat di tanah air tetap bisa mengedepankan cara-cara yang baik dengan duduk bersama bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Karena kata orang bijak "sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara hidup rukun."
Sebagaimana disampaikan Pengamat Politik Universitas Brawijaya Malang Dr Wawan Sobari mengatakan bahwa gagasan untuk menunda pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 memiliki konsekuensi yang cukup berat.
Wawan mengatakan bahwa penundaan pelaksanaan Pemilu 2024 memiliki konsekuensi untuk mengubah undang-undang, yang dijadikan dasar hukum untuk penundaan tersebut.
Menurut dia, penundaan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) berbeda dengan penundaan Pemilu untuk menentukan presiden Indonesia. Hal itu dikarenakan penundaan pemilu berkaitan dengan masa jabatan presiden.
Dalam penundaan pilkada, lanjutnya, akan ada pejabat pengganti yang bisa menggantikan. Gubernur bisa digantikan oleh pejabat dari Kementerian Dalam Negeri dan untuk bupati walikota akan diisi oleh pemerintah provinsi.
Baca juga: Muhaimin klaim banyak orang setuju penundaan Pemilu 2024
Sebaliknya jika pemilu mundur satu atau dua tahun maka akan ada kekosongan kekuasaan, termasuk juga pada kursi legislatif di tingkat pusat. Maka konsekuensi yang rumit dan panjang akan menghadang ke depan.
Fakta dan wacana ini menjadi ujian tersendiri bagi bangsa ini untuk menyikapi hal itu secara serius atau sebaliknya sebagai dagelan politik semata.
Yang jelas bahwa bangsa ini memerlukan keseriusan dalam kehidupan berdemokrasi dalam membangun cita-cita dalam berbangsa dan bernegara sebagaimana garis pendiriannya.
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2022