"Pasal 46 UU ORI bertentangan dengan UUD 1945."

Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian pengujian Pasal 46 UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan Pasal 1 angka 13 UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

"Permohonan pemohon terkait inkonstitusionalitas larangan penggunaan nama ombudsman beralasan menurut hukum. Menyatakan Pasal 46 UU ORI bertentangan dengan UUD 1945," kata Ketua Majelis Hakim MK Mahfud MD, saat membacakan putusan di MK Jakarta, Selasa.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan pembentukan lembaga Ombudsman adalah lazim dalam praktik universal di berbagai negara yang dilakukan baik pemerintah (pusat dan daerah) maupun lembaga swasta.

Hakim Konstitusi Akil Mochtar, saat membacakan pertimbangan mengatakan bahwa kata ombudsman telah memiliki pengertian yang umum, bahkan diterima secara internasional sebagai fungsi independen dalam menerima keluhan, menginvestigasi, memberi alternatif penyelesaian hingga memberikan rekomendasi kebijakan.

Jika terdapat monopoli istilah ombudsman akan sangat mengganggu proses komunikasi publik dalam penyampaian gagasan dan akan mengganggu hak berkomunikasi dan kebebasan untuk menyampaikan pendapat yang dijamin dalam konstitusi.

Mahkamah menilai lembaga ombudsman tidak dapat dimonopoli oleh negara, katanya.

"Karena itu, larangan pembentukan lembaga dengan nama ombudsman oleh lembaga selain ORI tidak sejalan dengan perlindungan konstitusional yang dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," kata Akil Mochtar.

Menurut Mahkamah, berlakunya Pasal 46 ayat (1) dan (2) UU ORI akan mengancam keberadaan lembaga-lembaga ombudsman sekaligus melanggar prinsip jaminan kepastian hukum yang adil bagi lembaga ombudsman yang telah dibentuk secara sah.

"Ombudsman di daerah penting untuk mengawasi unsur-unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah, tetapi bukan berarti lembaga tersebut merupakan perwakilan ORI," kata Akil.

Permohonan ini diajukan oleh Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin, dan sejumlah perwakilan lembaga ombudsman daerah yang menguji Pasal 46 UU ORI dan Pasal 1 angka 13 UU Pelayanan Publik.

Ombudsman daerah yang bergabung menjadi pemohon perkara ini, antara lain Ombudsman Kota Makassar, Ombudsman Daerah Istimewa Yogyakarta, Ombudman Kabupaten Asahan, Ombudsman Swasta DIY, dan LSM Komite Pemantau Legislatif Sulawesi.

Menurut para pemohon, pasal yang diuji itu seolah-olah menghapus/mengancam keberadaan lembaga ombudsman di daerah yang dibentuk dengan peraturan daerah, karena lembaga ombudsman di daerah tak diperbolehkan menggunakan nama ombudsman, dan diwajibkan mengganti nama dalam waktu dua tahun sejak UU ORI diberlakukan.

Pemohon menilai aturan ini tidak sejalan dengan konsep otonomi daerah serta bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2), (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Kontras dengan Pasal 46, justru Pasal 1 angka 13 UU Pelayanan Publik justru memperkuat keberadaan ombudsman di daerah baik yang diselenggarakan oleh pemerintah, BUMN/BUMD maupun lembaga swasta atau perorangan yang dananya bersumber dari APBN/APBD.
(T.J008/A011)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011