Bandung (ANTARA) - Surat edaran mengenai pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala yang dikeluarkan pada 18 Februari 2022 telah menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat, ada yang menentang, ada yang mendukung.
Di antara yang menentang, ada yang berpendapat pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid dan musala mestinya disesuaikan dengan kearifan lokal, tidak perlu diatur oleh negara.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan bahwa Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala diterbitkan untuk meningkatkan ketentraman, ketertiban, dan keharmonisan dalam masyarakat.
"Surat edaran ini dikeluarkan dengan tujuan agar tidak ada umat agama lain yang terganggu. Kita tahu itu syiar agama Islam, silakan gunakan toa, tapi tentu harus diatur. Diatur bagaimana volumenya tidak boleh keras, maksimal 100 desibel," katanya saat mengunjungi Kota Pekanbaru, Rabu (23/2).
"Tidak ada pelarangan. Aturan ini dibuat semata-mata hanya untuk membuat masyarakat kita semakin harmonis," katanya.
Pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala antara lain mencakup pengaturan pemasangan pengeras suara yang difungsikan ke luar masjid dan pengeras suara yang difungsikan ke dalam masjid serta pengaturan volume pengeras suara maksimal 100 desibel.
Surat Edaran Menteri Agama juga mengatur penggunaan pengeras suara untuk adzan dan pembacaan Al Quran dan selawat/tarhim serta penggunaan pengeras suara dalam pelaksanaan shalat, khutbah, zikir, doa, dan ceramah keagamaan.
Pengaturan juga dilakukan dalam penggunaan pengeras suara dalam pelaksanaan ibadah maupun syiar Ramadhan, takbir pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, serta perayaan hari besar Islam.
Sebelum Menteri Agama menerbitkan pedoman mengenai penggunaan pengeras suara di masjid dan musala, pemerintah pernah mengeluarkan ketentuan yang serupa pada tahun 1978.
Kebijakan mengenai penggunaan pengeras suara di masjid tertuang dalam Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor : KEP/D/101/1978 yang terbit pada 17 Juli 1978.
Instruksi yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama Kafrawi Ridwan antara lain mengatur pemakaian pengeras suara untuk azan pada setiap waktu salat, pembacaan Al Quran, dan takbiran pada hari raya.
Selain itu ada pedoman mengenai perawatan pengeras suara, penggunaan pengeras suara oleh muazin, dan penggunaan pengeras suara dalam dan luar.
Poin terakhir dalam instruksi itu menyebutkan bahwa aturan penggunaan pengeras suara di masjid yang ketat hanya berlaku di perkotaan. Aturan penggunaan pengeras suara di masjid yang berada di perkampungan lebih longgar, disesuaikan dengan kearifan lokal.
Kebutuhan
Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Raya Bandung Muchtar Gandaatmaja mengemukakan bahwa aturan penggunaan pengeras suara di masjid merupakan salah satu kebutuhan untuk menjaga toleransi antar umat beragama di lingkungan yang masyarakatnya beragam.
Ia mengatakan bahwa Masjid Raya Bandung berada di pusat kota, yang masyarakatnya beragam dan tidak semuanya beragama Islam, karena itu pengurus masjid mengupayakan agar kegiatan masjid tidak sampai mengganggu warga di sekitarnya.
Menurut dia, pengurus masjid merawat dengan baik sistem pengeras suara untuk memastikan kualitas suara tetap bagus.
Selain merawat sistem pengeras suara, dia mengatakan, pengurus Masjid Raya Bandung memilih muazin yang menguasai kaidah dan seni dalam membaca Al Quran.
"Jadi di sini ada sekitar 13 sampai 15 lah muazin yang tetap. Mereka semuanya itu qari," kata Muchtar di Bandung, Jawa Barat, Sabtu.
Dia mengatakan bahwa sebelum Surat Edaran Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2022 tentang pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala diterbitkan, pengurus masjid sudah menerapkan ketentuan mengenai penggunaan pengeras suara di masjid yang tertuang dalam Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tahun 1978.
Sebelum itu pun, ia mengatakan, pengurus masjid raya sangat memperhatikan masalah penggunaan pengeras suara.
"Jadi sudah dari dulu kita mengatur soal pengeras suara kita," kata Muchtar.
Pengurus Masjid Al-Asror di Kelurahan Jamika, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung, Jawa Barat, juga sudah mengatur penggunaan pengeras suara di masjid agar tidak sampai mengganggu warga sekitar sebelum Menteri Agama mengeluarkan surat edaran.
Di lingkungan rukun warga tempat Masjid Al-Asror berada ada 10 tempat peribadatan yang terdiri atas empat wihara, empat gereja, dan dua masjid.
Ketua DKM Masjid Al-Asror Agus Sobari belum melihat aturan yang tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2022 tentang penggunaan pengeras suara di masjid dan musala.
Namun demikian, ia mengatakan, pengurus masjid telah sejak lama mengikuti panduan penggunaan pengeras suara di masjid yang ada dalam ketentuan Kementerian Agama tahun 1978.
Meski tidak secara khusus memilih muazin dengan kualifikasi tertentu seperti pengurus Masjid Raya Bandung, pengurus Masjid Al-Asror mengupayakan kegiatan masjid tidak sampai mengganggu warga sekitar.
"Ini masjid mungkin udah dari tahun 1956 gitu. Dari dulu juga enggak pernah ada konflik gitu antar-warga," kata Agus.
Menurut Agus, umat beragama lain yang tinggal di lingkungan tempat masjid berada sudah tidak asing dengan suara-suara dari Masjid Al-Asror dan tidak merasa terganggu karenanya.
Warga Muslim yang berada di lingkungan itu, menurut dia, juga sudah tidak asing dengan kegiatan umat beragama lain seperti festival barongsai di wihara atau perayaan Natal di gereja dan tidak merasa terganggu karenanya.
"Sampai sekarang juga belum pernah ada yang mempermasalahkan, karena kan di sini juga memang toleransinya sudah terbentuk," kata Agus.
Kerukunan warga di lingkungan tempat Masjid Al-Asror bisa terjaga karena mereka berusaha saling memahami dan saling menghargai kebutuhan untuk beribadah dan melaksanakan ajaran agama masing-masing.
Baca juga:
Kemenag terbitkan pedoman penggunaan pengeras suara di masjid
DIY minta seluruh takmir laksanakan aturan pengeras suara masjid
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2022