Jakarta (ANTARA News) - Aksi lepas saham oleh pelaku pasar hanya bersifat sementara akibat kekhawatiran atas krisis finansial di Amerika Serikat dan Eropa yang diperkirakan akan berlanjut.
Berlanjutnya krisis itu, menurut pengamat pasar Ifan Kurniawan karena pelaku pasar melihat bursa saham New York dan Eropa selama empat hari berturut-turut merosot tajam bahkan bisa dikatakan sudah "jeblok".
"Karena itu pelaku pasar asing berusaha meminimalkan kerugiannya dengan segera melepas saham-sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan ini hanya bersifat sementara," katanya di jakarta Senin.
Menurut Irfan yang juga analis PT First Asia Capital, pemerintah AS sendiri berusaha mencari jalan keluar dengan membuat program paket stimulus ketiga untuk dapat menggerakkan sektor riil yang dapat membuka lapangan kerja baru bagi tenaga kerja.
Bank sentral AS (The Fed) dalam hal ini turut mendukungnya dengan menerapkan suku bunga rendah hingga dua tahun kedepan agar investor asing dapat menginvestasikan dananya di pasar AS, ucapnya.
AS, lanjut dia berusaha menarik pelaku asing untuk melakukan investasi mendorong sektor riil tumbuh sehingga dapat membuka lapangan kerja karena tingginya tingkat pengangguran di negara paman Sam itu.
"Saya optimis krisis AS akan dapat dilalui, sehingga pasar global kembali pulih, yang akan berdampak positif terhadap pasar domestik," ucapnya.
Karena itu, menurut dia aksi beli saham di pasar akan kembali membaik karena pelaku pasar khususnya masuk ke pasar melakukan pembelian saham-saham yang sudah rendah.
Pelaku akan membeli saham yang harganya sudah rendah setelah beberapa hari terpuruk, akibat kekhawatiran terhadap krisis global.
Untuk sementara pasar domestik, lanjut dia masih dapat bertahan yang terlihat dengan masih stabilnya posisi rupiah di atas level Rp8.500 per dolar.
Rupiah dalam kisaran Rp8.500 sampai Rp8.700 per dolar dinilai masih cukup baik yang ditopang oleh ekonomi makro Indonesia yang cukup baik dan Bank Indonesia (BI) yang memiliki cadangan devisanya yang terus meningkat.
Menurut dia, pemerintah harus hati-hati dengan China yang diperkirakan akan menaikkan suku bunga utamnya dalam upaya mencegah laju inflasi yang menguat.
"Suku bunga utama China saat ini mencapai empat persen lebih dari 2,75 persen dari suku bunga rupiah, namun apabila suku bunga China mencapai lima persen dikhawatirkan pelaku asing akan mengalihkan investasi di negara tirai bambu tersebut,"katanya. (h-CS)
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2011