Ya kita berterima kasih bila mereka mendukung Presiden dalam pemberantasan korupsi, karena memang itu merupakan komitmen program dan kebijakan Presiden SBY
Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Kabinet Dipo Alam mengaku sampai saat ini Setkab belum menerima surat dari 29 tokoh yang mendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk "berani" melakukan langkah nyata melindungi warga bangsa dan menindak tegas koruptor secara aktif dan nyata.
"Kalau saya baca isi dukungannya di media, surat itu baik-baik saja, dan tentu kita berterima kasih atas concern mereka yang positif itu," katanya di Jakarta, Senin, menanggapi surat 29 tokoh kepada presiden.
Sebanyak 29 tokoh nasional berkirim surat kepada Presiden SBY pada 20 Agustus 2011. Isinya, mereka mengimbau Presiden agar berani menindak tegas koruptor, termasuk yang dilakukan kader Partai Demokrat yang terlibat dalam kasus Nazaruddin.
Ke-29 tokoh itu di antaranya adalah mantan Panglima TNI Endriartono Sutarto, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, mantan Wakil Ketua KPK Erry Riyana, sosiolog Imam Prasodjo, Komaruddin Hidayat, dan Mas Achmad Santosa.
Dipo menilai surat itu baik dan pemerintah berterima kasih, karena mereka menyatakan secara baik, bukan tersirat dan tersurat berupa kebencian atau fitnah.
"Ya kita berterima kasih bila mereka mendukung Presiden dalam pemberantasan korupsi, karena memang itu merupakan komitmen program dan kebijakan Presiden SBY," katanya.
Surat itu juga, lanjut Dipo, sejalan dengan keberpihakan kepada upaya penurunan kemiskinan melalui kebijakan dan program kebutuhan dasar rakyat yang telah dikemukakan oleh Presiden dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 2011 di DPD dan DPR, dan juga di MPR tanggal 18 Agustus 2011.
"Pemerintah setuju dengan kita berpegang teguh dalam menegakkan pasal 33 UUD 45, mengenai penguasaan negara terhadap sumber daya ekonomi, yang kontraknya ada diteken sejak era Presiden Soeharto sampai ke penerus Presiden lainnya," katanya lagi.
Jangka pendek
Dalam hal dukungan agar kebijakan pemerintah jangan didasarkan atas kepentingan politik jangka pendek, walau ada forum komunikasi antar partai koalisi di Setgab, dan juga forum komunikasi dengan lembaga-lembaga negara, menurut Dipo tidak berarti Presiden menetapkan kebijakannya berdasar kepentingan politik jangka pendek, tetapi mandat rakyat yang diembannya dari hasil Pemilu dan Pilpres.
"Rakyat Indonesia sudah pintar dalam politik dan memilih presiden yang dinilainya telah sukses menjalankan program dan kebijakannya dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I. Jadi saya kira yang diajukan secara normatif itu baik-baik saja, dan kita bisa menerimanya sebagai dukungan yang baik," lanjutnya.
Namun, Dipo juga mengatakan akan lebih baik lagi bila dukungan itu dibuat secara deskriptif yang jelas dengan data yang akurat disertai usul yang tidak invent the will. Artinya, Presiden SBY memiliki will yang sama dan telah diterapkannya dalam program dan kebijakan. Jadi kalau diulang lagi will yang sama dari 29 tokoh itu maka itu menjadi invent the will.
"Artinya sudah jelas, diperjelas lagi tidak ada salahnya," ujar Dipo menjelaskan apa yang dimaksudkannya dengan invent the will.
Tak ada dalam kamus SBY
Soal "berani" atau "tidak berani" itu, menurut Seskab, tidak ada dalam kamus politik SBY, karena Presiden dalam menjalankan kebijakan dan tindakannya didasari oleh ketentuan hukum dan demokrasi yang diyakini bersama.
Memang, lanjut Dipo, ada persepsi orang yang mengharapkan SBY bisa "berani" bertindak dalam kekuasaannya seperti Paduka Yang Mulia, Pemimpin Besar Revoulsi, Presiden Seumur Hidup, Presiden Soekarno pada era Orde Lama dengan Demokrasi Terpimpinnya yang bisa menerbitkan Dekrit.
Atau bisa "berani" seperti Soeharto dalam "Demokrasi Pancasila-nya", tapi merepresentasikan dirinya sebagai pengawal Pancasila dan UUD 45, yang bisa menghalalkan pemilihan presiden yang diatur nyaris seumur hidup, main tangkap dan culik kepada pengkritisinya, dan KKN yang subur.
Kedua presiden ini, menurut mantan aktivis Dewan Mahasiswa itu, telah direformasi sejak 1998, dan kini Indonesia adalah negara hukum yang demokratis sehingga SBY tidak bisa meneruskan kepresidenannya setelah jatuh tempo tahun 2014 sesuai dengan konstitusi.
"Kekuasaan presiden kini tersebar ke beberapa lembaga negara dan daerah sebagai konsekuensi desentralisasi, termasuk kekuasaan media dan masyarakat dalam haknya berpendapat seperti 29 tokoh tersebut," katanya lagi.
Jumlah tokoh penandatangan surat untuk SBY itu dikabarkan akan bertambah.
"Semakin bertambah yang mendukung Presiden tentu semakin baik. Jadi kita tunggu saja surat mereka dan tambahan yang mendukung. Ini bulan Puasa, jadi saya ucapkan Alhamdullilah atas dukungan mereka," demikian Seskab Dipo Alam.
(A017)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011