Jakarta (ANTARA) - Ombudsman RI menyarankan agar pemerintah harus memastikan agar produsen minyak goreng mendapatkan pasokan Crude Palm Oil (CPO) dari perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan harga yang telah ditetapkan dalam kebijakan Domestic Price Obligation (DPO).
"Tidak semua produsen minyak goreng bisa mendapatkan harga baku sesuai DPO yang ditetapkan pemerintah. Pemerintah harus 'mengawinkan' semua produsen minyak goreng ini dengan semua produsen CPO yang punya kewajiban menyisihkan 20 persen volume ekspor," kata Yeka pada Webinar Pelayanan Publik"Dampak Kebijakan DMO dan DPO terhadap Ekspor CPO" yang dipantau di Jakarta, Jumat.
Bahkan Yeka menyampaikan dalam tahap pertama ini agar semua produsen minyak goreng yang tidak terintegrasi dengan produsen CPO supaya dipastikan terlebih dahulu mendapatkan pasokan CPO sesuai dengan harga DPO. Jenis minyak goreng yang perlu dipastikan ketersediaannya adalah minyak goreng jenis curah yang banyak dikonsumsi oleh usaha kecil dan mikro serta rumah tangga berpendapatan rendah.
Yeka menekankan, saat ini pemerintah perlu segera mengambil langkah strategis jangka pendek agar minyak goreng dengan harga eceran tertinggi (HET) dapat segera dinikmati masyarakat secara merata. Terlebih lagi akan memasuki bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri dalam waktu dekat. Ombudsman, kata dia, juga akan terus melakukan pemantauan harga minyak goreng hingga stabil sesuai yang ditetapkan oleh pemerintah.
Yeka mengatakan Ombudsman akan menganalisa secara lebih mendalam apa saja regulasi yang perlu ditata untuk jangka menengah. "Ombudsman akan mengevaluasi apakah kebijakan terakhir ini (Permendag Nomor 8/2022) adalah kebijakan yang tepat untuk jangka menengah dan panjang. Jangan-jangan di masa yang akan datang kebijakan DMO DPO ini malah menjadi backfire untuk Indonesia. Karena kalau volume ekspor CPO turun, bisa menyebabkan harga minyak nabati dunia naik," kata Yeka.
Sementara itu, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman memaparkan jumlah produksi CPO Indonesia pada tahun 2021 mencapai 46.88 juta metrik ton. Dari jumlah tersebut untuk kepentingan domestik sebanyak 18,42 juta metrik ton, dengan rincian untuk bahan baku minyak goreng 8,95 juta metrik ton dan biodiesel 7,34 juta metrik ton untuk keperluan domestik. Sisanya, CPO yang diekspor sebanyak 34,234 juta metrik ton.
Meskipun demikian, Eddy mengungkapkan volume ekspor CPO mengalami penurunan pada bulan Januari dan Februari 2022. "Volume ekspor CPO Januari hingga 24 Februari ini hanya 4,04 juta metrik ton dengan pendapatan Rp 6,22 triliun," katanya.
Terkait kelangkaan minyak goreng sesuai HET, menurut Eddy terjadi lantaran masa penyesuaian pasar terhadap kebijakan intervensi pemerintah saat ini. "Saat ini sedang masa transisi di mana produsen mencari bahan baku yang sesuai DPO untuk memproduksi minyak goreng HET," ujarnya.
Eddy mengatakan pemerintah perlu mempertemukan produsen minyak goreng dengan produsen CPO sesuai harga DPO. Selain itu, menurutnya, diperlukan penyiapan rantai pasok minyak goreng HET, misalnya dengan melibatkan Perum Bulog dalam hal distribusi minyak goreng HET hingga masyarakat bawah.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan menerbitkan Permendag Nomor 8 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Permendag Nomor 19 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor memberlakukan DMO dan DPO padacrude palm oil, refined, bleached, and deodorized palm olein dan used cooking oil.
Peraturan menteri tersebut mengamanatkan eksportir memasok 20 persen CPO untuk pasar domestik dari total volume. Sedangkan harga CPO dalam negeri sesuai kebijakan DPO yaitu Rp9.300 per kg. Dengan harga tersebut, produsen minyak goreng diharapkan dapat menjual produknya sesuai HET yaitu maksimal Rp14 ribu per liter.
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2022