Bengkulu (ANTARA News) - Walhi Bengkulu menyatakan sesuatu agak berbeda sebagai dampak kehilangan akses terhadap tanah alias tergusur karena aktivitas penambangan bagi 99 ribu jiwa masyarakat daerah itu.
"Luas areal pertambangan di Bengkulu berdasarkan hasil data kita terbaru dengan dinas energi sumberdaya mineral (ESDM) seluas 99 ribu hektar tambang batubara," jelas direktur eksekutif Walhi Bengkulu Zenzi Suhadi, Sabtu.
Dilanjutkannya, jika diasumsikan kepemilikan tanah masyarakat Bengkulu satu hektar per jiwa artinya ada 99 ribu jiwa masyarakat yang kehilangan akses terhadap tanah.
Dari luasan areal pertambangan itu 47 ribu hektar dalam kondisi aktif produksi menghasilkan batubara per tahunnya menyumbang royalti sebesar Rp40 miliar.
Jika dihitung angka rata-rata pengelolaan tanah Rp10 juta per hektar setiap tahun ketika tanah tersebut diberikan ke perusahaan tambang batubara artinya ada 47 ribu masyarakat yang kehilangan matapencaharian terkait dengan tanah seperti petani.
Ditambahkan dia, jika 47 ribu hektar dikelola langsung oleh rakayat diasumsikan pengelolaan tanah Rp10 juta per tahun artinya angka ekonominya mencapai Rp470 miliar.
Dengan royalti batubara Rp40 miliar per tahun artinya hanya 10 persen dari angka ekonomi yang bisa tergarap.
"Keuntungan yang diambil negara itu 10 persen dari setiap kerugian masyarakat, makin besar negara ambil royalti maka semakin berlipat pula kerugian yang ditanggung rakyat,"tambahnya.
Ia juga mengkritik mudahnya perizinan pertambangan dikeluarkan ia meminta agar pemerintah melihat perizinan bukan hanya sebagai syarat administrasi saja.
Dengan kondisi ini pemerintah seperti diperalat begitu saja oleh investor, "Gunakan perizianan sebagai legitimasi layak atau tidaknya sebuah perusahaan beroperasi,"jelasnya.
Ia juga menkhawatirkan dengan semakin rendahnya akses masyarakat terhadap tanah akan mengancam kondisi kawasan hutan lindung karena untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat akan membuka kawasan hutan lindung sebagai basis matapencaharian baru seperti perkebunan dan sawah. (*)
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2011