Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengapresiasi YLBH APIK Jakarta yang telah menyusun Kertas Kebijakan Urgensi Pengaturan Tindak Pidana Kekerasan Seksual Berbasis Online dan Perlindungan Korban dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
"Kami menyampaikan apresiasi kepada YLBH APIK Jakarta dalam penyusunan Kertas Kebijakan Urgensi Pengaturan Tindak Pidana KSBO dan Perlindungan Korban dalam RUU TPKS sebagai bentuk kepedulian dan upaya perlindungan korban KSBO," ujar Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan Kemen PPPA Margareth Robin Korwa melalui siaran pers, Jakarta, Kamis.
Kertas kebijakan ini dirancang sebagai bentuk kepedulian terhadap fenomena kekerasan seksual berbasis online (KSBO) yang terus meningkat.
Terkait dengan KSBO, menurut dia, perlu kehati-hatian untuk membedakan mana delik yang diatur dalam UU Pornografi, mana delik yang diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan mana delik yang menjadi ranah tindak pidana kekerasan seksual (TPKS).
Pemerintah sendiri mengusulkan bahwa pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual merupakan TPKS.
Margareth menuturkan bahwa penentuan delik penting untuk menjamin pemenuhan hak korban yang terintegrasi dalam hukum acara yang diatur dalam RUU TPKS, yaitu hak atas penanganan, hak atas pelindungan, dan hak atas pemulihan.
Selain itu, penting juga untuk pelayanan bagi perempuan korban kejahatan secara terpadu dalam unit perlindungan perempuan dan anak (PPA) atau direktorat khusus untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Ia berharap RUU TPKS dapat menjadi upaya pembaruan hukum dan bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan memulihkan korban kekerasan seksual, menindak pelaku kekerasan seksual dan mewujudkan lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual.
"Dilihat dari urgensinya, RUU TPKS telah memenuhi syarat untuk disahkan menjadi UU, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis," kata Margareth.
Baca juga: Menanti perlindungan perempuan dan anak melalui RUU TPKS
Baca juga: Baleg DPR batal bahas RUU TPKS bersama pemerintah
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022