Jakarta (ANTARA) - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonis mantan Direktur Utama Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pembangunan Sarana Jaya Yoory Corneles 6,5 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.

Yoory terbukti melakukan korupsi pengadaan tanah proyek "Hunian DP 0 Rupiah" di Munjul, Jakarta Timur yang merugikan negara Rp152,565 miliar.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 6 tahun dan 6 bulan dan pidana denda sejumlah Rp500 juta yang bila tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 6 bulan," kata Ketua Majelis Hakim Saifuddin Zuhri di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Vonis tersebut lebih rendah dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang meminta agar Yorry divonis 6 tahun 8 bulan penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

Saat pembacaan putusan, Yoory mengikuti melalui sambungan konferensi video karena sedang melakukan isolasi mandiri (isoman) akibat terpapar COVID-19.

Putusan tersebut berdasarkan dakwaan pertama dari Pasal 2 ayat (1) UU Jo. Pasal 18 No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Menurut Hakim, terdapat hal-hal yang memberatkan dalam perbuatan Yoory.

"Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebagai direktur utama BUMD, perbuatan terdakwa dapat merusak kepercayaan terhadap lembaga pemerintah dalam hal ini Pemprov DKI," ungkap Hakim Saifuddin.

Sedangkan hal-hal yang meringankan, Yoory belum pernah dihukum, punya tanggungan keluarga, tidak menikmati uang korupsi, dan menyesali perbuatannya.

Yoory juga tidak dibebankan pidana uang pengganti.

"Selama proses persidangan juga tidak ditemukan adanya bukti, di mana terdakwa Yoory tidak menikmati kerugian negara yang diketemukan. Namun, dengan demikian atas perbuatan terdakwa tersebut telah memperkaya para saksi dan korporasi PT Adonara Propertindo, di mana seluruhnya adalah Rp152,565 miliar, sehingga unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi terpenuhi," ungkap hakim.

Perkara ini diawali pada periode 2018-2020 pemerintah provinsi DKI Jakarta mencari tanah untuk hunian terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) melalui program "Hunian DP 0 Rupiah".

Untuk merealisasikan program tersebut, pada 2018 Yoory Corneles selaku Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya (PPSJ) yang merupakan BUMD Pemprov DKI Jakarta mengajukan usulan Penyertaan Modal Daerah (PMD) kepada Gubernur DKI Jakarta untuk APBD TA 2019 sebesar Rp1,803 triliun dengan rencana antara lain untuk pembelian alat produksi baru, proyek "Hunian DP 0 Rupiah", dan proyek Sentra Primer Tanah Abang.

Selanjutnya perusahaan swasta yaitu PT Adonara Propertindo mencari tanah sesuai kriteria yang diminta Yoory yaitu luas di atas 2 hektare, posisi di jalan besar, lebar muka bidang tanah 25 meter dan minimal "row" jalan sekitar 12 meter.

Pada Februari 2019, manajer operasional PT Adonara Anton Adisaputro menemukan tanah di Munjul, Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur, seluas 41.921 meter persegi milik Kongregasi Suster-Suster Carolus Boromeus (Kongregasi Suster CB).

"Beneficial owner" PT Adonara yaitu Anja Runtuwene dan Rudy Hartono Iskandar sehingga disepakati Anja mendekati pihak Kongregasi Suster CB dan disepakati menjual tanah di Pondok Ranggon seluas 41.921 meter persegi dengan harga Rp2,5 juta/meter persegi.

Baca juga: Terdakwa tanah Munjul minta pengembalian aset yang disita KPK
Baca juga: Terdakwa tanah Munjul: Kongregasi Suster tak penuhi kewajiban
Baca juga: Tiga terdakwa pengadaan tanah "DP Rp0" dituntut 5,5 - 7 tahun penjara

Saat dilakukan survei lokasi, tidak dapat diketahui batas-batas tanah karena belum ada data atau dokumen pendukung kepemilikan dan diketahui lokasi tanah berada di jalan kecil (row jalan tidak sampai 12 meter) namun Yoory tetap memerintahkan agar dilanjutkan proses pembelian.

Yoory lalu menggunakan jasa Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) Wahyono Adi untuk pelaksana appraisal (menaksir harga) yang sengaja dibuat "backdate" (memundurkan tanggal) dan menyerahkan laporan sesuai permintaan Yoory yaitu seharga sebesar Rp6,1 juta/meter persegi.

Sarana Jaya lalu membayar termin I sejumlah 50 persen kepada Adonara Propertindo yaitu atau sebesar Rp108,967 miliar pada 8 April 2019 meski saat itu status tanah Munjul belum beralih dari Kongregasi CB ke Anja. Selanjutnya Yoory juga setuju membayar sisa pelunasan yaitu Rp43,596 miliar pada 18 dan 19 Desember 2019 meski tahu tanah Munjul tidak bisa digunakan untuk proyek "hunian DP 0 rupiah".

Karena batas waktu pelunasan telah berakhir pada Agustus 2019 tapi tidak ada realisasi dari Anja Runtuwene maka pada 14 Agustus 2020, Kongregasi Suster-suster CB meminta agar Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dibatalkan dan meminta agar surat-surat terkait hak milik dikembalikan dan mengembalikan uang muka senilai Rp10 miliar.

Total uang yang diterima di rekening Anja Runtuwene adalah berjumlah Rp152.565.440.000 dan telah dipergunakan Anja dan Rudy Hartono antara lain untuk keperluan operasional perusahaan PT Adonara Propertindo, ditransfer ke PT RHYS Auto Gallery yang masih satu grup dengan PT Adonara maupun keperluan pribadi Anja dan Rudy seperti pembelian mobil, apartemen dan kartu kredit.

Terhadap vonis tersebut, Yoory dan JPU KPK menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2022