Jakarta (ANTARA News) - Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah, mengatakan tekanan inflasi agak berkurang akibat penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, namun tekanan inflasi yang lain masih cukup kuat sehingga kebijakan moneter masih cenderung ketat. "Tekanan inflasi masih cukup kuat, sehingga kebijakan moneter masih tetap 'tight bias' (cenderung ketat)," kata Burhanuddin, kepada wartawan, di Kantor BI, Jakarta, usai sholat Jumat. Dijelaskannya tekanan inflasi diperkirakan masih akan bersumber dari rencana kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL), kenaikan gaji PNS, kenaikan upah minimum, dan kenaikan harga beras. Hal itu, lanjutnya, sudah terlihat dari inflasi pada Januari 2006 yang mencapai 1,36 persen. Dikatakannya penguatan nilai tukar rupiah yang terjadi sejak perombakan kabinet hingga mencapai Rp9.300-an pada saat ini dari sebelumnya Rp9.800-an per dolar AS memang mengurangi tekanan inflasi akibat impor. Namun di sisi lain, katanya, nilai ekspor belum terpengaruh akibat kenaikan nilai rupiah. "Daya saing ekspor kita sampai saat ini masih cukup baik dan belum ada keluhan dari para eksportir akibat naiknya nilai rupiah," katanya. Burhanuddin juga mengatakan meski nilai tukar rupiah menguat, BI masih mengkaji pengaruhnya terhadap tingkat suku bunga BI yang akan dibahas pada rapat Dewan Gubernur BI pada 7 Februari mendatang. Namun, menurutnya, BI akan mengarahkan tingkat suku bunga sesuai dengan ekspektasi inflasi pada tahun ini sekitar delapan persen. "Kita lihat dalam rapat tanggal 7 Februari pengaruh dari perkembangan ekonomi, seperti rupiah, rencana kenaikan suku bunga The Fed (Bank Sentral AS) dan ekspektasi inflasi tahun ini," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2006