Yogyakarta (ANTARA News) - Film berjudul "Mata Tertutup" yang diproduksi Maarif Institute dan Yayasan Sains Estetika Teknologi dimaksudkan untuk kampanye pendidikan kewargaan guna membangun karakter anak bangsa.
"Melalui film yang disutradarai Garin Nugroho itu, kami berpamrih besar bagi terwujudnya karakter anak bangsa yang mampu memahami kehadiran dirinya sebagai manusia kritis dan kreatif di tengah warna-warni kebangsaan," kata pendiri Maarif Institute, Ahmad Syafii Maarif di Yogyakarta, Kamis.
Menurut dia, manusia kritis adalah yang terlepas dari kepicikan dan fanatisme buta, sedangkan manusia kreatif adalah yang mampu mengatasi hambatan perbedaan dengan keterbukaan diri.
"Melalui film itu kami juga ingin menyadarkan kita bahwa ada masalah kebangsaan yang menghantui bangunan keindonesiaan, yakni intoleransi yang tinggi, budaya kekerasan yang dominan, segregasi sosial di institusi pendidikan, dan rendahnya sikap keterbukaan kalangan pelajar," katanya.
Ia mengatakan film itu akan menyodorkan gambaran keseharian, menyajikan sebuah narasi besar ancaman terhadap kemajemukan dalam keintiman hidup sehari-hari.
"Sebuah cerita yang barangkali bisa terjadi pada siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Sebuah cerita tentang pencarian, keyakinan, dan kehilangan," kata mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah ini.
Dalam konteks itu, Maarif Institute memprakarsai kerja sama program advokasi pendidikan kewargaan untuk memperkuat karakter anak bangsa dengan berbagai pihak yang memiliki kompetensi dan kepedulian sejalan, di antaranya Yayasan Sain Estetika Teknologi (SET).
"Kami membingkai pendidikan kewargaan tersebut melalui media populer, yakni produksi film cerita berjudul `Mata Tertutup`," katanya.
Garin Nugroho mengatakan film itu mengangkat kisah nyata dari lembaran memilukan dalam cerita Indonesia saat ini. Perpaduan ketidakharmonisan keluarga, kesulitan ekonomi, kefrustasian sosial politik, dan piciknya pandangan merupakan rumput kering yang siap terbakar kapan saja.
"Film yang berdurasi 90 menit tersebut akan menyajikan tiga karakter utama yang diwakili tiga tokoh, yakni Rima, Nanda, dan Ibu Asimah," katanya.
Menurut dia, film itu mendorong pentingnya ruang dialog yang setara, terbuka, dan kritis dalam setiap pencarian identitas anak bangsa.
"Melalui itu, setiap persoalan kehidupan dapat diupayakan untuk disiasati dan diselesaikan dengan cara terbaik dan menempatkan manusia sesuai kodrat kemanusiaannya," kata Garin.
(L.B015*H010/B/M008)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011