Tentu butuh financial support di tingkat global
Jakarta (ANTARA) - Pandemi bukanlah suatu hal yang baru mulai dari wabah pes yang dijuluki sebagai maut hitam atau black death yang menyebar di Eropa pada sekitar tahun 1.300-an sampai sindrom pernafasan akut berat (SARS) pada 2002-2004 dan flu babi sekitar 2009-2010.
Dunia kembali menghadapi pandemi baru memasuki 2020 ketika Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) secara resmi mendeklarasikan COVID-19 sebagai pandemi pada awal Maret 2020.
Pandemi COVID-19 menyebar hampir ke seluruh negara di dunia, menyebabkan 428.310.991 orang terinfeksi dan 5.910.063 orang meninggal dunia berdasarkan data John Hopkins University sampai dengan 23 Februari 2022.
Menghadapi hal itu upaya vaksinasi kemudian didorong untuk mendapatkan kekebalan komunal (herd immunity) terhadap penyakit yang disebabkan virus SARS-CoV-2 tersebut.
Berdasarkan situs Our World In Data, setidaknya 62,5 persen populasi dunia telah menerima satu dosis vaksin COVID-19 per 22 Februari 2022.
Namun hanya 12 persen masyarakat di negara-negara dengan pendapatan rendah yang menerima setidaknya satu dosis vaksin, ambil contoh Nigeria yang baru 8,1 persen penduduknya yang telah menerima setidaknya dosis pertama.
Kondisi itu berbanding terbalik dengan negara-negara yang masuk dalam kategori maju dengan pendapatan tinggi seperti Amerika Serikat dengan tingkat vaksinasi 76,07 persen, Kanada 85,48 persen, Jepang 80,63 persen dan Portugal dengan 94,86 persen.
Hampir dua tahun berjalan, WHO menyoroti masih adanya kesenjangan termasuk dalam pendanaan. Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mendorong negara-negara maju untuk menutup kesenjangan itu dan memastikan keadilan akses global untuk tes, perawatan dan vaksin COVID-19.
Tedros menyebut dalam pernyataan pada 9 Februari 2022 bahwa tergantung di mana individu tinggal, ada yang merasa bahwa pandemi COVID-19 sudah hampir berakhir atau individu lain yang merasa kondisi tersebut sedang mencapai tingkat keparahan yang tinggi.
WHO mendorong agar negara-negara kaya dapat memberikan "bagian yang adil" untuk kekurangan 16 miliar dolar AS, sekitar Rp229 triliun, demi mendanai alat-alat yang dapat mengakhiri fase darurat pandemi COVID-19 pada tahun ini.
Upaya mencapai keadilan agar bisa pulih bersama itu juga menjadi sorotan dalam Presidensi G20 Indonesia tahun ini yang mengambil tema "Recover Together Recover Stronger".
Memperkuat arsitektur kesehatan global demi pemulihan lebih cepat dan lebih siap menghadapi krisis kemudian menjadi salah satu isu yang didorong dalam presidensi Indonesia tahun ini.
Tiga langkah konkret kemudian diusung yaitu komitmen membangun ketahanan sistem kesehatan global yang membutuhkan mobilisasi sumber daya kesehatan dan keuangan yang esensial.
Langkah kedua adalah melakukan harmonisasi standar protokol kesehatan, mencakup harmonisasi pedoman kesehatan global serta konektivitas sistem informasi kesehatan antarnegara yang berbeda atau perjalanan internasional.
Langkah konkret terakhir memperluas pusat manufaktur dan penelitian global secara khusus ke negara berkembang, menghadapi potensi suatu negara tertentu kehilangan kapasitas manufaktur dan penelitian yang dibutuhkan dunia ketika pandemi terjadi kembali.
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengatakan adanya dana kesehatan global merupakan salah satu komponen untuk membangun ketahanan sistem kesehatan global untuk menghadapi potensi pandemi lain di masa depan.
Memberi contoh dengan Dana Moneter Internasional (IMF) yang dapat membantu berbagai negara dengan kesulitan keuangan dalam beberapa pekan, Menkes menuturkan bahwa kapasitas yang sama dapat dilakukan dalam sektor kesehatan.
Dana global itu diperlukan agar berbagai pihak bisa bertindak dengan cepat jika terjadi krisis kesehatan di mana saja di dunia.
Selain dana, diperlukan juga akses kepada alat-alat yang diperlukan menghadapi potensi pandemi di masa depan.
Secara khusus Budi menyoroti Access to COVID-19 Tools (ACT) Accelerator yang salah satunya diinisiasi oleh WHO sebagai kolaborasi membantu negara-negara mengakses alat diagnostik, terapi dan vaksin.
Jenis kolaborasi tersebut, kata Budi, perlu diformalkan dan diperkuat di masa depan untuk memberikan akses kepada negara yang membutuhkan.
"Karena, sekali lagi, dalam krisis kesehatan uang saja tidak cukup," tuturnya.
Isu akses tidak hanya terkait pendanaan dan kepada alat-alat yang dibutuhkan untuk menghadapi pandemi.
Budi mengatakan perlu juga dilakukan formalisasi platform global berbagi data sekuens genom agar dapat diakses semua pihak ketika kecepatan diperlukan saat pandemi.
Hal itu berkaca dari pengalaman pandemi COVID-19 saat penyakit itu menyebar di Wuhan, China, data sekuens genom yang diunggah di awal dalam waktu beberapa pekan kemudian dapat diakses oleh para peneliti lain.
Menurut Budi, kecepatan mengakses data seperti itu dibutuhkan ketika menghadapi pandemi karena virus menyebar sangat cepat.
Baca juga: Menkes: Dana kesehatan global berperan antisipasi pandemi masa depan
Baca juga: 'Long COVID' menjadi isu global bagi pasien dan sistem kesehatan
Kesetaraan
Ketidaksiapan dunia menghadapi pandemi sebelumnya sudah disuarakan ketika Komite Peninjau Kesehatan Internasional (The International Health Regulation Review Committee) yang terdiri dari pakar kesehatan melakukan evaluasi pandemi flu babi.
Pada 2011, komite itu menyebutkan bahwa dunia tidak siap menghadapi pandemi.
Tinjauan serupa kemudian dilakukan kembali saat pandemi COVID-19, dengan WHO menginisiasi Panel Independen untuk Kesiapsiagaan dan Respons Pandemi (Independent Panel for Pandemic Preparedness and Response) diketuai mantan PM Selandia Baru Helen Clark dan mantan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf.
Hasilnya pada 2021 panel itu mengeluarkan evaluasi yang serupa, bahwa dunia tidak siap menghadapi pandemi kali ini.
Dalam kedua hasil evaluasi tersebut, disebutkan bahwa dukungan dana menjadi penting untuk mendukung menghadapi pandemi.
Direktur Pasca-Sarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama berbicara kepada ANTARA mengatakan bahwa yang menjadi isu bukan hanya menangani pandemi terjadi saat ini. Namun, bagaimana kesiapan dan respons menghadapi pandemi di masa mendatang.
"Jadi itu yang mesti dilakukan dan untuk itu tentu butuh financial support di tingkat global," katanya.
Dia mengatakan bahwa dunia telah sepakat bahwa dukungan finansial dibutuhkan untuk menghadapi pandemi berikutnya.
Tjandra, yang menjadi anggota The International Health Regulation Review Committee pada 2011, sepakat bahwa dalam kepemimpinan Indonesia sebagai Presidensi G20 memasukkan hal tersebut sebagai salah satu unsur untuk penguatan arsitektur kesehatan global.
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara itu juga mengatakan bahwa tentu akan ada perbedaan antara negara maju dan berkembang menghadapi pandemi.
Hal itu contohnya terjadi dalam kaitannya dengan vaksinasi. Dengan salah satu upaya penting agar pandemi COVID-19 dapat terkendali adalah ketika vaksin diberikan secara merata kepada penduduk di semua negara.
Mempertimbangkan mobilitas penduduk dunia, tidak memungkinkan jika pandemi usai ketika hanya satu atau dua negara saja keluar dari pandemi. Salah satu indikator untuk selesainya pandemi adalah ketika semua negara telah memvaksinasi minimal 70 persen penduduknya.
Namun masih ada kesenjangan dalam vaksinasi, dengan terdapat negara yang sudah menyelesaikan vaksinasi lebih dari 80 persen penduduk dan bahkan disertai vaksinasi booster atau penguat. Tapi ada pula negara-negara yang capaian vaksinasi masih kurang dari 25 persen.
"Di sinilah letaknya kesetaraan vaksinasi perlu dijaga. Sebenarnya sudah dimulai dengan adanya COVAX," ucap mantan Dirjen P2P dan Kepala Balitbangkes Kemenkes RI itu.
Untuk itu dalam G20 di masa Presidensi Indonesia dapat membuat sebuah sistem kesetaraan sektor kesehatan yang lebih baik, salah satunya untuk vaksin. Tapi, sistem itu tidak hanya digolkan pada tingkat G20 tapi juga perlu dibawa sampai tingkat WHO.
Preseden sebelumnya telah terjadi ketika Joint External Evaluation (JEE), yang bertujuan untuk mengukur kapasitas inti pelaksanaan International Health Regulation (IHR), diadopsi oleh WHO setelah diinisiasi oleh Global Health Security Agenda (GHSA).
Langkah tersebut dapat dilakukan agar sistem kesetaraan itu, yang diusung Presidensi G20 Indonesia, dapat juga berlaku di tingkat global.
Baca juga: RI dorong perluasan manufaktur perkuat arsitektur kesehatan global
Baca juga: RI ajak semua negara perkuat arsitektur kesehatan global
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022