Batam (ANTARA News) - Realisasi kebijakan dan berbagai program
aksi di bidang pengembangan ekonomi maritim, terutama melalui penerapan azas '
cabotage' di sektor pelayaran nasional, merupakan langkah konkret untuk segera mengakhiri dominasi armada berbendera asing di wilayah perairan Nusantara.
"Bapak Presiden memang bertekad agar Indonesia secepatnya menjadi tuan rumah di perairan Nusantara. Penerapan azas '
cabotage/i>', juga pemangkasan biaya tinggi dalam pengoperasian konteiner (THC) di Tanjung Priok, merupakan langkah-langkah konkret awal," ungkap Jurubicara Kepresidenan, Andi Mallarangeng, di Batam, Kamis malam.
Pemerintah RI dengan Kabinet Indonesia Bersatu di bawah kepemimpinan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, menurut Mallarangeng, sangat menyadari berbagai ketertinggalan ekonomi maritim, terutama ditunjukkan oleh kalahnya penguasaan armada berbendera Indonesia ketimbang asing di wilayah perairan Nusantara.
Data yang dikutip ANTARA dari Lembaga Studi JR Pro (2004), menunjukkan armada berbendera nasional hanya menguasai pangsa pasar kurang dari 50 persen dari berbagai angkutan domestik antar pulau. Selebihnya dikuasai kapal-kapal niaga berbendera asing.
Di bidang ekspor impor, malah kalahnya semakin telak. Sebab, lebih 90 persen angkutan ekspor impor milik Indonesia, didominasi armada berbendera asing.
Akibatnya, puluhan miliaran dolar AS 'cost of transportation' melayang ke pihak maskapai pelayaran asing. Hal itu belum termasuk kerugian akibat harus membayar 'international transit gain' kepada pelabuhan internasional, khususnya di Singapura, karena Indonesia belum memiliki satu pun "International Hub Port" (IHP).
Data di atas lebih lanjut juga membuktikan, Indonesia terpaksa membayar ke Singapura sekitar sembilan miliar dolar AS setahun untuk berbagai `fee` akibat barang ekspor impor mesti di-`handle` melalui pelabuhan internasional Singapura.
"Hal ini sudah mendapat perhatian sangat intens. Dan tekad pemerintah sekarang, mengakhiri kondisi tersebut secepatnya. Antara lain dengan penerapan kebijakan azas `cabotage`, penurunan berbagai tarif di lingkup pelabuhan yang dianggap telah membuat pengembangan armada nasional tersendat," ujarnya.
Itu semua, lanjut Mallarangeng, baru merupakan langkah-langkah awal.
"Pemerintahan ini baru berusia setahun lebih sedikit. Tapi hasilnya sudah mulai kelihatan kan," kilahnya sembari menunjuk beberapa kebijakan strategis lainnya ke depan.
Andi Mallarangeng yang mendampingi Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) menghadiri Rapat Kerja Pemantapan Penyelenggaraan Pemerintahan Regional Barat, 2-3 Februari yang diikuti 10 gubernur dan seluruh bupati serta walikota se-Sumatera, di Batam, juga memaparkan beberapa langkah program aksi lanjutan di bidang pengembangan ekonomi maritim.
"Misalnya upaya-upaya nyata untuk segera dilakukan penambahan armada domestik, pembangunan pelabuhan-pelabuhan, termasuk `international hub port` (IHP) di Batam maupun Bitung, peningkatan mutu maupun kuantitas pendidikan kemaritiman serta pembenahan infrastruktur lainnya," jelas Mallarangeng dengan nada optimis.
Hanya saja, demikian jubir kepresidenan, dalam kondisi negara seperti sekarang (masih banyak kendala internal maupun eksternal di berbagai bidang, terutama ekonomi dan politik), diharapkan semua komponen masyarakat bisa meningkatkan kerjasama.
"Sebab, semua ini tak bisa berhasil dalam sekejap saja. Ini butuh perjuangan maksimal dan saling dukung sesuai posisi serta potensi masing-masing," katanya.
Khusus di sektor tarif, menurutnya, ada sebuah prestasi besar yang berhasil dicapai. Yakni, penurunan tarif THC di Tanjung Priok sehingga berada pada tahap amat kompetitif dengan apa yang diberlakukan sejumlah pelabuhan internasional di negara tetangga, terutama Singapura dan Thailand.
Pengertian Daerah
Menyangkut pembangunan pelabuhan-pelabuhan khusus, apalagi berstatus IHP, Mallarangeng mengatakan, ini memang perlu kerja keras yang membutuhkan energi ekstra besar.
"Ini juga tak hanya dalam bentuk menyediakan fasilitas yang dibutuhkan sesuai syarat internasional. Tetapi, bagaimana Indonesia mampu menarik minat pengelola armada dunia, serta meyakinkan pihak-pihak tertentu sekaligus membangun akses niaga global," imbuhnya.
Dalam kaitan itu, mengutip permintaan Presiden Yudhoyono, setiap daerah seharusnya bisa memahami dan mau mengerti arah pembangunan nasional secara jelas, termasuk di bidang ekonomi maritim. "Artinya, setiap daerah bisa mengertilah dengan keadaan kawasan dalam kaitan dengan akses global. Jadi, jangan semua nuntut minta dibangunkan pelabuhan laut atau pelabuhan udara," kata Mallarangeng.
Dilihat dari kepentingan geo-strategis, geo-ekonomi, maupun pertimbangan efisiensi serta efektifitas ekononomi, pemerintah menganggap ada beberapa pelabuhan yang berpotensi sebagai IHP, semisal Batam dan Bitung, katamya.
"Juga yang sudah ada berperan sekarang seperti Tanjung Priok," papar Mallarangeng, beberapa saat setelah mendampingi Presiden SBY meninjau Kawasan Industri Muka Kuning dan Pelabuhan Internasional Batu Ampar di Batam.
Kedatangan Presiden ke Batam, disertai pula Ibu Negara Any Yudhoyono
Yudhoyono dan 10 orang menteri, Kapolri serta Kepala BIN. Presiden menurut rencana memberikan penjelasan mengenai arah pembangunan kepada 10 gubernur dan seluruh bupati serta walikota pada rapat kerja regional barat tersebut.
Rapat kerja ini merupakan rangkaian dari kegiatan sebelumnya yang berlangsung Manado (regional timur) dan Bali (regional tengah). Rapat di Batam dibuka Mendagri M Maruf, Kamis (2/2) pagi. Sedangkan penutupannya dijadualkan dilakukan Presiden Yudhoyono, Jumat. (*) Copyright © ANTARA 2006