Pokoknya dua wilayah itu hingga kini belum memiliki akses jalan memadai, dan terjangkau listrik PLN,"

Palu (ANTARA News) - Sejumlah warga menggotong salah seorang penduduk yang sakit keras menyusuri jalan setapak melewati kawasan hutan lindung di dataran tinggi Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Warga yang sakit itu hendak dibawa berobat ke rumah sakit di Palu, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng).

Karena tidak ada akses jalan yang bisa dilewati kendaraan roda empat, lelaki bernama Yulius (59), warga Dusun Sangali, Kecamatan Lindu tersebut terpaksa harus digotong beberapa orang.

Dari Dusun Sangali, lelaki yang dalam kondisi sangat lemah dibawa keluarganya menyeberangi danau menuju Desa Tomado, Ibu Kota Kecamatan Lindu.

Untuk menyeberangi danau yang luasnya mencapai lebih dari 3.000 meter persegi itu membutuhkan waktu satu sampai 1,5 jam.

Selanjutnya, ia digotong beberapa warga menuju Desa Sadaunta, Kecamatan Kulawi. Setelah tiba di desa yang terletak pada poros jalan provinsi selanjutnya meneruskan perjalan menuju Palu dengan menggunakan kendaraan angkutan pedesaan.

Jarak Desa Sadaunta dengan Tomado hanya lebih 10 kilometer, tetapi jalannya masih setapak.

Apner (44), seorang tokoh pemuda di Desa Tomado, pekan lalu mengatakan, dahulu jalan itu sama sekali tidak bisa dilewati kendaraan roda dua. Jalan itu hanya bisa dilalui warga dengan berjalan kaki atau naik kuda "pateke" (kuda beban).

Tetapi sejak 2000 jalan menuju Kecamatan Lindu sudah bisa dilelawti sepeda motor dengan melewati lereng gunung, dan jika tidak hati-hati bisa terjatuh ke jurang yang mencapai ratusan meter itu.

Ia mengatakan, sampai sekarang ini masyarakat yang bermukim di kecamatan yang baru diresmikan dua tahun lalu itu jika sakit parah harus berobat di Palu.

Memang di Tomado sudah ada puskesmas, tetapi hanya bisa melayani warga yang sakit ringan.

Kalau ada warga yang sakit parah, dan tidak bisa lagi dibonceng dengan sepeda motor, maka satu-satunya cara adalah menggotong.

"Ya itu cara terbaik yang bisa dilakukan warga untuk membantu penduduk yang sakit, dan harus berobat lanjut di rumah sakit di Kota Palu," katanya.

Cara tersebut sudah dilakukan sejak turun-temurun, karena memang tidak adanya akses jalan memadai.

Karena harus menempuh perjalanan yang cukup panjang, dan menyusuri kawasan hutan terkadang warga yang sakit parah mendadak meninggal di perjalanan.

Ia menolak merinci, tetapi ada beberapa warga Kecamatan Lindu meninggal dunia dalam perjalanan karena memang akses jalan yang belum memadai.

Masyarakat di Kecamatan itu hanya berharap pemerintah bisa memperhatikan mereka dengan menyediakan akses jalan yang memadai sehingga mereka tidak lagi kesulitan, termasuk menjual hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan air danau ke Palu.

Damba jalan memadai
Sebenarnya, masyarakat Kecamatan Lindu sekarang ini mendambahkan adanya jalan memadai yang bisa dilewati kendaraan roda empat seperti wilayah lainnya di Provinsi Sulteng.

Ia mengatakan, sejak bertahun-tahun, masyarakat di sana sangat menginginkan segera terlepas dari keterisolasian.

Keterisolasian menyebabkan masyarakat di wilayah itu tidak bisa menikmati pembangunan seperti yang dinikmati kebanyakan penduduk.

Padahal, katanya, di Kecamatan Lindu terdapat objek wisata yang cukup indah, dan menarik yakni Danau Lindu.

Sejak dahulu, sebenarnya sudah banyak wisatawan manca negara yang berkunjung ke sana. Bahkan sampai sekarang ini sangat sering turis asing yang berkunjung.

Rata-rata turis yang datang ke sana, tinggal sampai seminggu lamanya. Bahkan mereka menyebut Danau Lindu adalah Danau Toba orang Sulawesi.

Karena memang, Danau Lindu memiliki daya tarik yang sangat menarik, sehingga setiap orang dari luar wilayah itu yang datang sangat mengaguminya.

Selain menikmati panorama keindahan Danau Lindu yang memiliki hingga puluhan jenis ikan hidup di dalamnya, juga hutan di sekitar Danau Lindu masih terbilang cukup lebat, dan rimbun.

Apalagi, semua desa yang ada di sekitar Danau Lindu, yakni Puro`o, Langko, Tomado, Anca, dan Kanawu berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung Taman Nasional Lore-Lindu (TNLL).

Beberapa mahasiwa dan ahli dari berbagai negara mengadakan peneletian di dataran tinggi Lindu.

Pipikoro
Selain Lindu, ada satu kecamatan lagi di kabupaten Sigi yakni Pipikoro yang ibu kota pemerintahan berpusat di Desa Peana hingga kini juga belum memiliki akses jalan memadai.

Selain akses jalan memadai, juga belum terjangkau penerangan listrik, meski bangsa Indonesia telah merdeka selama 66 tahun pada 17 Agustus 2011.

"Pokoknya dua wilayah itu hingga kini belum memiliki akses jalan memadai, dan terjangkau listrik PLN," kata DM Katib, tokoh masyarakat Kecamatan Pipikoro.

Kecamatan Lindu, dan Pipikoro sebelum dimekarkan masuk wilayah Kecamatan Kulawi (sekarang ini jadi Kecamatan Kulawi Selatan).

Mantan jaksa di Sulteng itu mengatakan, hingga kini masyarakat di dua kecamatan tersebut sangat membutuhkan akses jalan dan penerangan listrik dari PLN.

Karena prasarana jalan sekarang ini hanyalah merupakan jalan setapak yang hanya bisa dilalui dengan jalan kaki, atau naik sepeda motor.

"Sepeda motor ojek merupakan alat transportasi utama masyarakat setempat," katanya.

Akibatnya, selama turun-temurun masyarakat di Kecamatan Lindu, dan Pipikoro, mengalami kesulitan untuk memasarkan berbagai hasil pertanian, dan perkebunan, karena belum memiliki akses pasar dengan adanya jalan yang memadai.

Begitu pula untuk membeli berbagai kebutuhan pokok, dan keperluan rumah tangga lainnya, masyarakat harus turun dari gunung ke Kulawi, Ibu Kota Kecamatan Kulawi Selatan atau langsung ke Palu, Ibu Kota Provinsi Sulteng.

Sebagian warga harus berjalan kaki atau naik sepeda motor (ojek) dengan menempuh perjalanan hingga puluhan kilometer untuk bisa sampai ke jalan raya.

Dari sanalah, mereka baru melanjutkan perjalanan ke Palu dengan naik kendaraan angkutan pedesaan.

Tidaklah heran jika pembangunan di dua kecamatan itu juga berjalan lamban, karena kondisi prasarana jalan yang belum memadai.

Belum lagi ditambah dengan tidak adanya penerangan listrik dari PLN, padahal Indonesia sekarang ini telah merdeka selama 66 tahun.

Tetapi masih ada juga wilayah-wilayah di Tanah Air, termasuk dua kecamatan di Sulteng yaitu Lindu dan Pipikoro, yang hingga kini masih belum terjangkau penerangan listrik, dan prasana jalan memadai.

"Di usia 66 tahun Indonesia merdeka, kami harapkan pemerintah bisa memperhatikan wilayah-wilayah yang hingga kini masih terisolasi," katanya.

Tergantung pemerintah
Kepala Bidang Teknis Konservasi Balai Besar Taman Nasional Lore-Lindu (BBTNLL) Setiohindrianto sebelumnya mengatakan, pembukaan akses jalan memadai menuju kawasan obyek wisata Danau Lindu di Kabupaten Sigi hingga kini masih terkendala karena harus melewati hutan lindung.

Ia mengatakan, jika bukan hutan lindung, pembukaan akses jalan dipastikan tidak terkendala.

Meski demikian, semua, lanjutnya tergantung dari pemerintah.

Sepanjang pemerintah mengizinkan, pihak BBTNLL tidak keberatan untuk membuka akses jalan menuju ke sana.

Asalkan, masyarakat, dan pemerinta Kecamatan Lindu, dan Pemkab Sigi harus bisa menjaga dan mengamankan kawasan hutan lindung dari9 segala macam gangguan, termasuk pencurian hasil hutan, dan juga pembukaan areal kebun oleh masyarakat di sekitarnya.

Biasanya untuk peningkatan akses jalan yang harus melalui kawasan hutan lindung harus terlebih dahulu mendapat persetujuan, dan izin dari menhut.

Jadi sebenarnya, bukan tidak bisa sama-sekali, tetapi harus mendapat izin dari menhut.

"Kalau sudah ada izin dari menhut. Silahkan membangun jalan yang memadai. Apalagi di Kecamatan Lindu terdapat obyek wisata mernarik yang kini mulai banyak dikunjungi turis," katanya.

Ia menjelaskan BBTNLL dalam tupoksinya hanya mengawasi dan mengamankan kawasan hutan lindung dari berbagai gangguan.

Tapi, menyangkut pembukaan akses jalan memadai haruslah seizin menhut.

Karena itu, masyarakat dan pemerintah daerah harus memahami bahwa kewenangan untuk memeberikan izin membuka akses jalan memadai di kawasan TNLL ada di tangan Menhut.
(BK03)

Oleh Anas Masa
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011