Kalau ada berapa lama 'total delay'

Jakarta (ANTARA) - Direktur Pasca-Sarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama mendorong otoritas terkait untuk melakukan audit terhadap setiap kasus kematian yang terjadi akibat COVID-19.

"Setiap nyawa yang hilang tentu amat berharga dan tidak dapat tergantikan dengan apapun juga," kata dia saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan angka kematian akibat COVID-19 di Indonesia bukanlah angka perbandingan semata, namun perlu dipelajari lebih mendalam sebagai upaya pengendalian angka kematian yang menunjukkan tren peningkatan dari hari ke hari.

Untuk itu, Tjandra mendorong otoritas terkait melakukan audit terhadap setiap kasus kematian yang terjadi akibat COVID-19 untuk menentukan penyebab dari kejadian tersebut.

Selain itu, kata dia, diperlukan analisa perjalanan penyakit sejak pasien tertular berdasarkan gejala yang timbul baik ringan, sedang. hingga meninggal.

Baca juga: Pakar: Risiko kematian di tengah wabah Omicron ancam berbagai umur

Selanjutnya juga diperlukan analisa mendalam terhadap jenis varian SARS-CoV-2 yang memicu kematian.

Analisa yang juga penting, kata Tjandra, terkait dengan kemungkinan faktor keterlambatan penanganan, baik itu dari pasien maupun pelayanan kesehatan.

"Kalau ada berapa lama 'total delay'," katanya.

Tjandra yang juga mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara periode 2018-2022 itu, mengatakan upaya pengendalian kasus kematian juga bisa dilakukan melalui pelibatan tim medis di rumah sakit dalam menganalisa pasien bergejala ringan tapi berisiko berat.

"Karena angka keterisian tempat tidur rumah sakit sekarang masih sekitar 30 persen, dan itu pun belum dari kapasitas maksimal, maka baiknya sekarang mereka yang ringan tetapi punya risiko menjadi berat sebaiknya dirawat inap di rumah sakit saja," katanya.

Baca juga: Satgas: Tekan kasus sehingga kematian akibat COVID-19 tidak bertambah

Namun bila angka keterisian rumah sakit jauh meningkat, kata Tjandra, maka baru aturan dikembalikan lagi menjadi hanya untuk kasus sedang dan berat.

Upaya lainnya dalam mengendalikan kasus kematian dilakukan melalui pembatasan sosial dan mematuhi protokol kesehatan, tes dan telusur kasus yang terus ditingkatkan secara merata serta vaksinasi harus terus digalakkan.

"Termasuk 'booster' (penguat) yang sampai 22 Februari 2022 cakupannya baru 4,24 persen," katanya.

Kementerian Kesehatan RI pada Selasa (22/2) menyampaikan total kasus kematian COVID-19 sejak penularan Omicron merebak mencapai 2.484 jiwa. Sebanyak 46 persen di antaranya memiliki komorbid dan 54 persen sisanya tidak memiliki komorbid.

Baca juga: Luhut sebut kasus kematian pasien COVID-19 di Jawa-Bali meningkat
Baca juga: Kemenkes: 73 persen kematian dialami pasien tanpa perlindungan vaksin
Baca juga: Riset : Kematian akibat Omicron 75 persen lebih kecil daripada Delta

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2022