Jakarta (ANTARA News) - Monolog adalah pentas tunggal yang dilakukan oleh seorang aktor atau aktris. Meskipun pemain monolog tidak melakukan dialog dengan pemain lain di atas panggung, namun dia tetap dituntut untuk dapat melakukan "dialog".
"Monolog harus menyiratkan dialog. Monologis harus berdialog dulu dengan dirinya sendiri, kemudian berdialog dengan penonton. Kalau mereka tidak memiliki kemampuan itu, dia gagal," kata sastrawan Radhar Panca Dahana dalam peluncuran buku Naskah Monolog "Matinya Toekang Kritik" di Jakarta, Kamis.
Menurut Radhar yang turut memberi pengantar dalam buku tersebut bersama Ignas Kleden, monolog harus memberikan ruang dialog agar hasilnya bukan hanya sebuah pernyataan. Hal yang sama dinyatakan oleh novelis Ayu Utami yang juga hadir sebagai pembicara dalam diskusi buku karya Agus Noor itu.
Agus Noor adalah seorang cerpenis yang sering berkolaborasi dengan pemonolog Butet Kartaredjasa. "Matinya Toekang Kritik" adalah naskah terbarunya yang akan dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta mulai 3 hingga 5 Februari, di Concert Hall Taman Budaya Yogjakarta 11-12 Februari, dan di Taman Budaya Cak Durasim Surabaya 17-18 Februari.
Kolaborasi seni kata dan seni peran itu sebelumnya pernah dilakukan pada pentas monolog "Lidah Pingsan" pada 1997.
"Butet punya kemampuan untuk berdialog itu. Bahkan lebih. Butet bukan hanya bisa menciptakan dialog tapi juga menciptakan ruang. Kata-kata yang muncul menciptakan berbagai argumentasi dan penafsiran dalam masyarakat," ujar Dahana menambahkan.
Ia mengatakan dengan kemampuan Butet yang demikian, maka yang harus diperhatikan adalah teks monolog itu sendiri. Apakah teks yang ada mampu menciptakan ruang itu.
"Teks monolog seharusnya tidak terjebak dalam plastisitas bahasa dan humor belaka. Humor jangan dijadikan lapisan luar saja," katanya.
Mengenai pemonolog yang sama, Ayu mengatakan bahwa Butet bukan hanya sekedar tukang kritik tapi penyambung lidah rakyat dengan mendapatkan bentuknya dalam monolog.
"Kadang monolog menempatkan penonton sebagai objek. Hanya berupa ceramah bagi penonton. Butet meskipun bermonolog, tapi sebenarnya mereka berdialog. Kadang dengan Djaduk (adik Butet yang sering menjadi pengiring musik dalam pementasan), atau dengan penonton. Kalau benar-benar monolog, penonton seharusnya tidak diberi peran," ujar Ayu.
Mengenai hal tersebut, Radhar berpendapat bahwa dialog dengan penonton bukan hanya berbentuk kata-kata, tapi juga pemikiran.
Pada pementasan itu, Butet memang malakukan dialog. Sambil bermonolog ia juga memberikan ruang berfikir bagi para penonton mengenai masalah kritik yang ia sampaikan. Butet berhasil membawakan monolog 1,5 jam menjadi pementasan yang menghibur, tidak membosankan, dan mengajak berfikir. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006