Jakarta (ANTARA News) - Penggunaan istilah Cina atau China dalam Bahasa Indonesia di Kamus Besar Bahasa Indonesia diakui masih mendua, tapi masih bisa diluruskan dengan komitmen bersama bahwa istilah yang disarankan adalah Cina, kata Abdul Gaffar Ruskhan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
"Jika kita bertahan menggunakan istilah China, selama itu pula istilah itu masih asing. Padahal, kita telah menjadikan istilah itu tidak asing bagi penutur bahasa Indonesia," kata Gaffar saat menyampaikan pandangannya dalam diskusi bahasa Duduk Perkara Istilah "Cina" Berbagai Pandangan dan Pilihan Lain yang merupakan kerjasama Forum Bahasa Media Massa (FBMM) dan Perum LKBN ANTARA di Jakarta.
Menurut dia, masalah penggunaan istilah Cina dapat diselesaikan dengan kepala dingin tanpa mengingat masa lalu karena pernah digunakan dengan makna peyoratif "penghinaan".
Kata Cina harus diberi makna positif dan pikiran negatif bagi setiap masyarakat yang menjunjung harkat dan martabat bahasa sebagai jatidiri bangsa perlu disingkirkan.
Sementara itu, penggunaan istilah China dengan lafal "caina" merupakan kemunduran karena mengembalikan istilah yang sudah mapan dan akrab ke dalam istilah yang asing di telinga kita "caina".
"Untuk itu, media yang menggunakan istilah serapan Cina perlu diapresiasi. Hal itu merupakan upaya kita memasyarakatkan istilah yang tepat," katanya.
Sementara itu, penggunaan istilah China di dalam masyarakat, jika hal itu diusulkan, tidak lebih dari "pesan sponsor" dengan alasan politis.
Keinginan Kedutaan Besar Cina/China untuk mengembalikannya ke dalam ejaan bahasa Inggris adalah alasan nonbahasa.
Mungkin pernyataan "tidak ada bahasa tanpa kecuali" dijadikan alasan pembenaran untuk melangar kaidah bahasa bagi bahasawan.
Di satu pihak kita ingin menghargai keinginan pemilik negaranya, tetapi di pihak lain kita harus mematuhi kaidah penyerapan istilah.
"Di samping itu, kesetiaan bahasa sebagai wujud bangsa yang memiliki jatidiri bangsa melalui pengutamaan bahasa sendiri perlu kita jaga," katanya.
Badan Bahasa sendiri, katanya, mengambil sikap bahwa nama negara ditulis dengan Cina sementara China tidak disarankan.
Hal itu berlaku pula pada tema pokok dan subtema dalam kamus, baik bangsa maupun bahasa, yakni menggunakan Cina. (*)
(T.A025/H-KWR)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011