Jakarta (ANTARA) - Kemoterapi sebagai salah satu modalitas utama tatalaksana kanker berpotensi menyebabkan efek samping dan risiko ini dapat diminimalisir, ungkap Kepala Departemen dan KSM Ilmu Kesehatan Anak RSUP Hasan Sadikin, Dr. dr. Susi Susanah, Sp.A(K), M.Kes.

"Risiko efek samping ini dapat diminimalisir melalui mitigasi dengan cara mengenal karakteristik obat kemoterapi, karakteristik pasien dan penanganan efek samping," kata dia dalam sebuah webinar kesehatan, Sabtu 19/2).

Susi mengatakan, ada sejumlah efek samping yang bisa dirasakan pasien seperti nyeri, rambut rontok, konstipasi, diare, neurotoksisitas, mual dan muntah, demam hingga kebocoran cairan.

Efek samping ini berdasarkan waktu munculnya, bisa bersifat segera atau dalam 24 jam pertama seperti mual, muntah, kemerahan pada kulit, nyeri saat berkemih dan menggigil; dini atau atau hitungan hari hingga minggu misalnya stomatitis, rambut rontok, diare; bahkan tahunan seperti sirosis hepatis, keganasan dan infertilitas.

Baca juga: Mengenal tiga pengobatan yang umum untuk kanker

Pasien yang mengalami mual dan muntah karena kemoterapi dapat menurun kualitas hidupnya, ketidakseimbangan metabolik, anoreksia sehingga berujung malnutrisi, masa rawat inap yang lama dan terancamnya keberlangsungan hidup karena keterlambatan atau penundaan siklus kemoterapi.

"Faktor yang mempengaruhi kejadian mual dan muntah seperti tipe, dosis dan jadwal kemoterapi serta individu pasien yang dipengaruhi usia dan gender," kata Susi.

Menurut Susi, tenaga kesehatan umumnya sudah mengenali obat-obat kemoterapi yang menyebabkan mual dan muntah dengan derajat minimal atau ringan, sedang hingga tinggi. Pasien yang diberikan obat-obatan jenis high emetogenic umumnya akan mendapatkan antiemetik atau antimuntah sebelum kemoterapi dilakukan.

Selain mual dan muntah, pasien juga bisa merasakan efek mukositis yang dikaitkan dengan kemampuan nyeri, makan dan menelan pasien. Perawat, bisa bekerjasama dengan orangtua dan dokter untuk menjaga kebersihan rongga mulut pasien misalnya dengan berkumur, menyikat gigi sampai pada tahap yang terakhir memerlukan terapi medikamentosa.

Di sisi lain, selama kemoterapi, pasien juga dapat berisiko mengalami kebocoran cairan atau obat sehingga obat yang diberikan melalui intravena bisa memunculkan gejala seperti nyeri, gangguan sensasi seperti bengkak, panas, kesemutan dan pendarahan. Kejadian ini bisa berkurang salah satunya dengan pemilihan vena yang sesuai.

Kemoterapi bertujuan menghancurkan sel-sel kanker dengan mempengaruhi sintesis atau fungsi DNA sehingga dapat menghambat atau merusak siklus sel kanker. Tetapi, terapi ini juga dapat menghancurkan sel-sel normal, sehingga di dalam pelayanan tatalaksana kemoterapi selain manfaat yang diambil, pasien kanker menghadapi risiko berupa efek samping, meskipun tidak selalu terjadi dan bersifat individual.

"Sebagian dapat diprediksi dan ini salah satu yang harus dikomunikasikan kepada orang tua dan pasiennya kalau (dia) sudah remaja. Antisipasi dalam memberikan kemoterapi khususnya pasien kanker anak yakni mengenali karakteristik obat kemoterapi, mengantisipasi efek samping sehingga bisa mempersiapkan penanganan efek samping tersebut dan persiapan selama dan pasca kemoterapi," jelas Susi.

Dia mengingatkan, dalam pemberian kemoterapi, ada banyak faktor yang harus diperhatikan yakni jenis kanker, stadium kanker, usia pasien, status kesehatan pasien dengan sebagian ada penyakit-penyakit yang menyertai. Menurut dia, peran perawat kompeten yang menjadi bagian dari tim multidisiplin tatalaksana kanker termasuk faktor penting dalam keberhasilan terapi.

Baca juga: Yoga bisa bantu kurangi efek samping kemoterapi

Baca juga: Anak dengan kanker butuh pendampingan dan perawatan khusus

Baca juga: Pasien COVID membeludak, RS Belanda hentikan kemoterapi

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2022