Jakarta (ANTARA News) - Beberapa anggota Komisi I DPR yang melakukan uji kepatutan dan kelayakan selama 15 jam terhadap calon Panglima TNI, Marsekal TNI Djoko Suyanto, mengungkapkan kemungkinan ditempuhnya mekanisme "voting" untuk menentukan hasil rapat kerja maraton itu. Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Ade Nasution, kepada ANTARA di Gedung DPR/MPR Jakarta, Kamis dini hari, menyatakan, "`Voting` itu bisa saja terjadi. Makanya, hasil uji kelayakan Rabu malam tidak bisa diputuskan segera malam ini juga karena harus dilempar dulu ke fraksi masing-masing." Setelah itu, katanya, baru dilakukan rapat internal di Komisi I DPR sebagai pijakan menuju rapat di Badan Musyawarah sebelum menginjak ke Rapat Paripurna yang akan menghasilkan keputusan dan sikap final Parlemen, apakah menyetujui atau menolak nama calon Panglima TNI yang diajukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu. Jika DPR memutuskan menolak nama yang diajukan Presiden dalam bentuk tertulis, maka sesuai ketentuan UU Nomor 34/2004 Tentang TNI, Presiden harus segera menyiapkan nama lain pengganti calon baru Panglima TNI. Untuk selanjutnya, nama itu akan diuji kepatutan dan kelayakannya persis seperti yang kini dialami Djoko Suyanto. Anggota lain Komisi I DPR, Ali M Ngabalin, bahkan berpendapat lebih jauh, yaitu hasil pendengaran terhadap visi dan misi Suyanto sebagai calon pengganti Panglima TNI, Jenderal TNI Endriartono Sutarto, sama sekali belum menghasilkan keputusan apa-apa. "Kita semua malam ini hanya mendengarkan pemaparan visi dan misinya jika nanti terpilih menjadi Panglima TNI. Tentang bagaimana tanggapan kita, setuju atau tidak, nanti dulu. Itu masalah lain," katanya. Kalau dipakai penalaran yang memadai tentang mekanisme pengambilan keputusan pada alam demokrasi, katanya, menempuh cara "voting" adalah salah satu cara yang baik. "Masalahnya, jika nanti `voting` itu terbuka, bisa mempengaruhi suara yang akan diberikan anggota komisi ini," katanya. Dia menjelaskan, sudah bukan rahasia lagi bahwa ada "titipan" pimpinan partai politik dan pimpinan fraksi dalam proses pengambilan keputusan politik di Parlemen. Sehingga, jika kesepakatan "voting" itu dilakukan secara terbuka maka anggota DPR itu cenderung tidak akan berseberangan dengan "titah" partai politiknya. Menurut beberapa pihak di Komisi I DPR, dalam pemaparan Djoko Suyanto tidak ada hal istimewa yang bisa dipertajam ke dalam penjabaran lebih lanjut. Hal ini, menurut mereka, sebetulnya cukup disayangkan karena misi dan visi yang tajam, bernas, dan reformis menjadi menu yang ditunggu-tunggu selama ini. Dalam rapat uji kelayakan itu, setiap sebentar terjadi interupsi dari anggota Komisi I DPR sekalipun Suyanto yang dihujani ratusan pertanyaan sedang menjelaskan berbagai pertanyaan lisan itu. Tidak jarang Ketua Komisi I DPR RI, Theo L Sambuaga, yang memimpin sidang harus mengeluarkan kata-kata keras guna mencegah agar pembicaraan relatif tetap pada jalurnya. Rapat berlangsung dua kali, yaitu pukul 09.00-18.00 WIB dan pukul 19.00-23.30 WIB. Hal ini menurut ketetapan sidang, berdasarkan aturan tata tertib persidangan DPR RI yang telah disahkan sejak masa bakti ini berjalan. Setelah rapat dinyatakan selesai oleh Sambuaga, sempat terjadi perang mulut antara "kubu" penentang pencapaian suara secara aklamasi dengan "kubu" yang setuju dengan penentuan hasil uji kelayakan dengan cara menunda sidang internal Komisi I DPR. Menanggapi masalah itu, seusai sidang dan disalami para anggota Komisi I DPR, Suyanto menyatakan, "Termin saya telah selesai. Sekarang tinggal menunggu saja. Yang jelas saya tetap konsisten untuk melanjutkan reformasi TNI nanti." Menurut beberapa sumber, setelah sidang itu tidak menghasilkan keputusan apa pun kecuali menunda sidang internal komisi, para pimpinan fraksi partai politik di DPR telah menyiapkan sejumlah skenario yang bisa dimajukan dalam rapat di Badan Musyawarah terkait dengan pencalonan Suyanto ini. (*)
Copyright © ANTARA 2006