Palembang (ANTARA) - Transisi energi menjadi komitmen dan bentuk kesadaran warga dunia untuk menyelamatkan bumi dari pemanasan global.
Sebagai Presidensi G20, Indonesia menjadikan transisi energi ini menjadi salah satu isu prioritas, di samping dua topik lainnya yakni Sistem Kesehatan Dunia serta Transformasi Ekonomi dan Digital.
Pemerintah Indonesia pun telah berkomitmen untuk mempercepat pengurangan energi berbahan fosil ini dengan mematok target bauran energi dari Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025.
Presiden Joko Widodo juga menegaskan komitmen Indonesia dalam pemenuhan Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Dalam hal ini, pemerintah daerah melalui kewenangannya diyakini menjadi kunci dalam upaya pencapaian target EBT tersebut dalam upaya akselerasi transisi energi di Indonesia.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumsel Hendriansyah di Palembang, Kamis (27/1), mengatakan Sumsel sebagai daerah lumbung energi nasional terus mendorong pemanfaatan sumber-sumber energi baru terbarukan.
Walaupun, memiliki cadangan batu bara mencapai 22,5 miliar ton atau tak akan habis hingga 100 tahun mendatang tapi semangat untuk transisi energi tetap digaungkan di daerah yang juga menghasilkan minyak dan gas ini.
Hal ini dapat diamati dari realisasi bauran EBT di Sumsel yang sudah mencapai 20 persen pada tahun 2021 atau hampir mencapai target yang ditetapkan pemerintah sebesar 23 persen pada 2025. Capaian ini karena masifnya pembangunan pembangkit yang menggunakan EBT dalam kurun enam tahun terakhir.
“Tinggal sedikit lagi, jika PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) berkapasitas 8 Mega Watt di Pagaralam beroperasi maka 23 persen itu sudah terlewati,” dia.
Walau demikian, Sumsel terus mendorong penggunaan EBT ini karena potensi yang dimiliki daerah belum tergali optimal.
Salah satu yang paling memungkinkan untuk diperbanyak yakni penggunaan energi surya oleh instansi pemerintah dan kalangan swasta.
Sejauh ini penggunaan panel surya sudah digunakan sejumlah kantor dinas pemerintah, diantaranya di kantor Dinas Energi Sumber Daya Mineral Sumsel, Palembang dan Kantor Gubernur Sumsel. Namun, untuk kalangan swasta masih terbilang minim.
Oleh karena itu, Pemprov mendorong kalangan pebisnis pun dapat menggunakannya seperti yang dilakukan sejumlah kafe di Bandung, Jawa Barat, yang menggunakan panel surya sebagai pengganti energi listrik.
Saat ini, penggunaan panel surya berkapasitas besar di Sumsel baru dilakukan PLN dengan membangun PLTS berkapasitas 2 Megawatt (MW) di kawasan Jakabaring Sport City, Sumatera Selatan. PLTS itu untuk memenuhi kebutuhan energi di kawasan olahraga tersebut sejak 2018.
Sedangkan untuk penggunaan EBT lainnya, Sumsel sudah mengembangkan energi berasal dari panas bumi, biomassa dan air.
Untuk panas bumi, menurutnya, menjadi penggunaan EBT yang tertinggi di Sumsel yakni di PLTP Rantau Dedap berkapasitas 91,2 MW milik Supreme Energy, dan PLTP Lumut Balai berkapasitas 55 MW milik Pertamina Geothermal Energy (PGE) di Kabupaten Muara Enim.
Selain itu, Sumsel juga memiliki Pembangkit Listrik Mini Hidro berkapasitas 9 MW di Kabupaten Lahat, Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) berkapasitas 3 x 3,3 MW di Lahat, dan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) sekam padi milik PT Buyung Poetra Sembada di Kabupaten Ogan ilir.
“Ke depan, kami akan terus menggali potensi, seperti untuk panas bumi di daerah-daerah yang ada pegunungan di Lahat dan Pagaralam,” kata dia.
Baca juga: Menteri ESDM paparkan sederet manfaat migas dalam transisi energi
Baca juga: Presiden bertemu delegasi Bank Dunia bahas G20 hingga transisi energi
PLTP
Sebelumnya, PT Supreme Energy Rantau Dedap (SERD) resmi mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Rantau Dedap Tahap I di Sumatera Selatan berkapasitas 91,2 MW pada 26 Desember 2021.
Pengoperasian PLTP ini menjadi pelecut semangat Sumsel untuk terus menggali potensi EBT dari panas bumi.
Direktur Eksekutif PT Supreme Energy Rantau Dedap Nisriyanto yang diwawancarai setelah bertemu dengan Gubernur Sumsel Herman Deru beberapa waktu lalu, mengatakan proyek Rantau Dedap merupakan proyek panas bumi yang sangat menantang karena kontruksi dilakukan di area berketinggian 2.600 meter di atas permukaan laut.
Energi panas bumi ini umumnya berada di daerah pegunungan, yang secara otomatis merupakan kawasan remote area sehingga perusahaan harus membangun akses jalan sejauh 40-50 kilometer.
Proyek ini diawali melalui studi pada 2008 yang membuat kesimpulan bahwa ada energi panas bumi yang terkandung di Muara Enim, Lahat dan Pagaralam.
Lalu pada 2012 dibuat perjanjian dengan PLN, untuk kemudian dilanjutkan dengan kontruksi pada 2013. Perusahaan menginvestasikan dana senilai Rp10 triliun. “Kami membangun PLTP ini sebagai wujud komitmen untuk membangun pembangkit ramah lingkungan,” kata dia.
Saat ini energi dari PLTP Rantau Dedap sudah terkoneksi dengan jaringan 75 KV milik PLN yang menambah keandalan listrik untuk wilayah Sumatera Bagian Selatan.
Peran daerah
Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Sahid Junaidi mengatakan pemerintah pusat terus mendukung penguatan peran Pemerintah Daerah (pemda) dalam pelaksanaan program sektor energi di daerah.
“Upaya percepatan transisi energi di Indonesia akan berjalan dengan baik jika semua pihak atau pentahelix, yang terdiri dari pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, pengusaha, akademisi dan media menjalankan peran masing-masing secara optimal,” ujar Sahid.
Peran pemda sangat dibutuhkan sehingga strategi pengembangan EBT yang dibuat pemerintah pusat dapat berjalan dengan baik agar target RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) dan RUED (Rencana Umum Energi Daerah) dapat terlaksana.
Sebanyak 22 provinsi dari 32 provinsi yang ada di Indonesia, telah menyusun RUED yang secara substansial disusun dengan mengacu pada RUEN yang berlaku hingga tahun 2050 dan disahkan dengan peraturan daerah.
Melalui kewenangan ini diharapkan pemerintah daerah dapat memberikan dukungan penuh untuk mencapai target pembangunan nasional di sektor energi khususnya pemanfaatan EBT sebagai bagian upaya mengurai emisi gas rumah kaca.
Berdasarkan perhitungan dari Kementerian ESDM, Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan sebanyak 3.685 gigawatt, tetapi pemanfaatan baru mencapai 11 gigawatt atau 3 persen dari total potensi, sehingga kondisi ini menjadi tantangan bagi semua pihak.
“Kami tahu untuk memanfaatkan EBT ini perlu upaya yang lebih karena infrastruktur dan kebijakannya itu juga harus sejalan. Kalau kami lihat perkembangan sampai saat ini dari sisi bauran energi hasilnya masih cukup menantang dari progres per 2021 data sementara capaiannya 11,7 persen," jelas Sahid.
Baca juga: Dyah Roro Esti: G20 jadi momentum dorong percepatan transisi energi RI
Baca juga: PLN proyeksi EBT isi kekurangan energi listrik 230 GW hingga 2060
Kebutuhan PLN
PT PLN (Persero) memproyeksikan pembangunan pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk mengisi kekurangan energi sebanyak 230 GW hingga 2060.
Senior Executive Vice President Manajemen Resiko PT PLN (Persero) Chairani Rachmatullah, Sabtu, mengatakan produksi energi nasional mencapai 300 terrawatt hour (TWh) pada 2020 (basecase), sementara pertumbuhan kebutuhan listrik diperkirakan mencapai 1800 TWh pada 2060.
Walau sudah ada proyek 35 Giga Watt (GW) yang dicanangkan pemerintah dengan masih didominasi oleh bahan bakar fossil tapi diperkirakan nantinya hanya akan memberikan tambahan sebesar 21 GW (120 TWh).
“Artinya ada gap energi sebesar 1.380 TWh (230 GW), dan ini sangat mungkin diisi oleh pembangkit EBT dan memerlukan biaya investasi 500-600 billion USD,” kata Chairani dalam dalam Webinar “Peran Renewable Energy dalam Meningkatkan Daya Saing di Era Revolusi Indonesia 4.0” yang digelar Ikatan Alumni Teknik Elektro Universitas Sriwijaya (Unsri), Sabtu (12/2/22).
Untuk itu, PLN sudah menyiapkan peta jalan untuk mendukung pengembangan EBT itu dengan membuat Rencana Penambahan Pembangkit pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 atau Greener RUPTL.
Ini juga menjadi dasar untuk mencapai target Zero Carbon pada 2060 seperti yang ditargetkan pemerintah.
Saat ini, kapasitas terpasang pembangkit PLN mencapai 63,3 GW. Oleh karena itu, dalam 10 tahun ke depan, PLN berencana menambah pembangkit baru sebesar 40,6 GW dengan porsi EBT mencapai 20,9 GW (51,6 persen).
Selain itu, PLN juga merencanakan untuk mengistirahatkan PLTU retirement sebesar 1,1 GW dan penggantian PLTD/PLTMG/PLTG tua tersebar sekitar 3,6 GW sehingga kapasitas pembangkit PLN pada tahun 2030 menjadi 99,2 GW.
Walau sudah ada proyek 35 GW itu, yang mana 34 persen atau 13 GW masih merupakan PLTU, menurut Chairani, PLN tetap berkomitmen akan memasukkan EBT dalam sistem ketenagalistrikan.
“Artinya tidak perlu khawatir, porsi EBT masih sangat memungkinkan masuk ke sistem kami (tidak kelebihan suplai),” kata dia.
Terkait strategi untuk mencapai target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025, PLN juga telah membuat beberapa perencanaan, di antaranya, percepatan izin, eksplorasi dan pembebasan lahan untuk meningkatkan keberhasilan pembangunan PLTP (1,4 GW), PLTA dan PLTM (4,2 GW).
Kemudian, program dedieselisasi PLTD tersebar 588 MW menjadi PLTS 1,2 GWp dan Batere, pembangunan PLTS 4,7 GW dan PLTB 0,6 GW.
“Melalui upaya ini porsi EBT di sistem pembangkitan PLN diharapkan tumbuh dari 13,01 persen pada 2021 menjadi 23 persen pada 2025 dan 24,8 persen pada 2030,” kata dia.
Dalam upaya transisi energi pada kelistrikan Indonesia ini, ia tak menampik terdapat sejumlah resiko yang sangat mungkin terjadi di antaranya dari sisi regulasi, lingkungan, operasional hingga keuangan.
Salah satunya dari sisi operasional yakni bakal ada penurunan keandalan listrik, dan dari sisi lingkungan yakni bakal ada masalah jika ada eksploitasi berlebih untuk penyediaan bahan baku pembangkit tenaga biomassa.
Dekan Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya (Unsri) Joni Arliansyah mengatakan perlunya mengakselerasi transisi energi.
Terdapat tiga poin utama yang membuat transisi energi ini menjadi penting, yakni perubahan iklim yang menjadi alasan terbesar dibalik gencarnya upaya transisi energi. Sektor energi merupakan kontributor perubahan iklim paling dominan yang menyumbang hampir 90 persen dari emisi CO2 secara global.
Kemudian, negosiasi Iklim Internasional Paris Agreement (kesepakatan para peserta COP ke-21 di Paris tahun 2015 untuk menahan peningkatan suhu bumi) mewajibkan setiap negara anggota untuk mengambil peran dalam komitmen perubahan iklim, yang diwujudkan dengan penetapan Nationally Determined Contribution (NDC) masing-masing.
Lalu, yang tak kalah penting bahwa adanya fakta bahwa penelitian dan pengembangan atas teknologi EBT ini semakin meningkat sehingga energi terbarukan semakin beragam, berkualitas dan efisien.
Kondisi geopolitik dan ekonomi juga menjadi alasan pentingnya transisi energi, seperti desentralisasi pembangkit listrik, tren investasi terbarukan, pengadaan untuk instalasi pembangkit energi terbarukan, kebebasan dari ketergantungan fosil, serta perubahan perilaku konsumer listrik.
“Bahkan penggunaan EBT ini dapat meningkatkan daya saing Indonesia di era revolusi industri 4.0,” kata dia.
Indonesia memiliki potensi EBT cukup melimpah yang diperkirakan lebih dari 3.000 GW yang bersumber dari tenaga surya, angin, hidro, panas bumi, bio energi, dan energi laut.
Melalui Forum G20 ini, Indonesia pun memiliki kesempatan untuk menunjukkan kepada dunia, dukungan penuh terhadap transisi energi global.
Komitmen itu ditunjukkan pemerintah dengan rencana menerapkan pajak karbon dengan tarif sebesar Rp30 per kg karbon CO2e pada 1 April 2022 untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan skema cap and tax.
Dari subsektor minyak dan gas bumi, pemerintah berencana menerapkan Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS) untuk mengurangi emisi karbon.
Ini sekaligus untuk meningkatkan produksi migas, pembatasan routine flaring, optimalisasi pemanfaatan gas bumi untuk rumah tangga dan transportasi, serta penurunan emisi metana.
Baca juga: Luhut: Butuh 8,58 miliar dolar investasi untuk pensiun dini PLTU
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2022