Jakarta (ANTARA News) - Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu, menyatakan Pemerintah, produsen, petani, dan distributor menyepakati harga tertinggi gula putih di tingkat pengecer sebesar Rp6ribu per kilogram atau naik dari kesepakatan Oktober 2005 Rp5.500 per kilogram. "Harga ini sudah berdasarkan perhitungan biaya produksi lokal, mulai dari petani hinggu produsen, kenaikan harga BBM dan dampaknya, serta harga gula impor di pasar internasional," kata Mari usai rapat tertutup dengan berbagai stakeholder industri gula seperti PTPN X, Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Bulog, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) di Jakarta, Rabu. Berdasarkan pantauan di berbagai daerah, menurut dia, harga gula rata-rata berkisar di angka Rp6 ribu hingga Rp6.200 per kilogram. "Tapi tergantung daerahnya karena memperhitungkan biaya angkutan. Kalau di Pulau Jawa, sekitar Rp6 ribu," kata Mari. Dia menambahkan, Pemerintah cukup diuntungkan dengan izin impor gula yang dikeluarkan pada Oktober 2005 karena pada waktu itu harga gula di pasar internasional sekitar 360 dolar AS per metrik ton, lebih rendah dari harga saat ini yang berkisar di angka 440 dolar AS per metrik ton. "Kalau kita menetapkan harga berdasarkan harga impor saat ini, tentu angkanya jauh lebih tinggi," ujarnya. Dia menegaskan, penetapan harga itu juga untuk mengantisipasi penyelundupan gula ke luar negeri karena harga gula lokal lebih rendah dibanding gula di pasar internasional. "Dulu kita mengantisipasi penyelundupan beras ke dalam negeri, tapi sekarang sebaliknya. Ini juga harus kita jaga dengan titik keseimbangan harga gula yang baru," kata Mari. Mengenai operasi pasar gula, Mari mengatakan, hal itu akan dilakukan kalau terjadi gejolak harga di suatu daerah. Sedangkan dugaan penimbunan gula yang menyebabkan harga melonjak, ia menegaskan, mata rantai gula mulai dari produsen hingga pengecer cukup panjang. "Sebenarnya pasar sudah mulai berjalan sejak dari produsen ke distributor. Kalau penimbunan, indikasinya adalah gejolak harga yang terlampau tinggi tetapi selama kita pantau tidak terjadi seperti itu. Mungkin selama sepekan ini ada kebingungan untuk menetapkan berapa harga gula yang layak," kata Mari. Sementara menurut Ketua APTRI, Arum Sabil, biaya pokok petani tebu dengan produksi sekitar 80 ton per hektar Rp5,414 juta per ton. Angka ini berdasarkan berbagai parameter seperti sewa lahan, biaya angkutan, bunga bank, dan produksi rata-rata petani 80 ton per hektar dengan pendapatan Rp29,9 juta dan pengeluaran Rp21 juta. Berdasarkan data Departemen Perdagangan, stok gula pada Januari hingga Mei sebanyak 582.502 ton, produksi Januari - April dari PTPN-PTPN yang mulai giling pada Februari sebanyak 40 ribu ton, impor gula sebanyak 300 ribu ton, maka stok gula lebih dari 900 ribu ton, sedangkan konsumsi gula Januari - April diperkirakan 887.872 ton.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006