Realita yang terjadi di lapangan justru seringkali tidak menguntungkan petani...harga komoditas yang mereka hasilkan sangat bergantung pada pasar

Jakarta (ANTARA) - Petani membutuhkan dukungan agar bisa berperan lebih dalam rantai pasok pangan melalui berbagai regulasi, skema bantuan dan penyuluhan yang lebih efektif dan tertarget, serta penyediaan infrastruktur yang memadai, kata Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta.

”Realita yang terjadi di lapangan justru seringkali tidak menguntungkan petani. Petani tidak memiliki posisi tawar yang menguntungkan saat bertransaksi karena harga komoditas yang mereka hasilkan sangat bergantung pada pasar. Alhasil petani hanya bertindak sebagai price taker dan bukan price maker,” kata Felippa dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Jumat.

Selain, kata dia, petani juga kurang didukung infrastruktur yang optimal, seperti irigasi, jalan untuk distribusi, maupun sarana penyimpanan dan pengolahan.

Dia mengatakan pangan perlu dipahami sebagai suatu sistem menyeluruh yang tidak hanya berhenti dengan panen, namun juga membutuhkan proses pasca-panen yang memadai. Sarana penyimpanan dan pengolahan, seperti pengeringan biji kopi atau jagung juga mempengaruhi mutu.

Felippa mengemukakan inefisiensi produksi juga melambungkan biaya produksi sehingga membebani petani. Penelitian CIPS menemukan beberapa faktor yang berkontribusi pada tingginya biaya produksi, seperti keterbatasan lahan, keterbatasan akses petani kepada asupan pertanian seperti benih bermutu dan pupuk.

Baca juga: Ombudsman nilai peran pemerintah penting dorong kesejahteraan petani

Berdasarkan penelitian CIPS, rata-rata lahan petani di Indonesia 0,6 hektare sehingga biaya produksi tinggi dan tidak efisien jika dibandingkan dengan bila menggarap lahan pertanian dalam skala yang lebih besar.

Pihaknya merekomendasikan beberapa langkah untuk meningkatkan kesejahteraan petani lewat input pertanian yaitu perlunya transisi dari mekanisme pupuk subsidi saat ini ke akses kepada direct payment (pembayaran langsung ke petani) guna menghilangkan disparitas harga antara pupuk subsidi dan komersil, memberikan pilihan jenis input lebih banyak, dan menjadi insentif untuk pembelian sesuai kebutuhan optimal.

Namun, menurut Felippa, bantuan langsung ini juga perlu dilengkapi dengan ketentuan transisi dan phasing out.

Sementara itu, dukungan sisi pasokan asupan dapat dilakukan melalui pengembangan varietas unggul baru, relaksasi impor bahan baku pupuk atau benih sumber. Selain itu, sektor pertanian juga membutuhkan investasi pada infrastruktur pendukung seperti jalan, listrik, saluran irigasi, internet, akses ke pelabuhan.

Selain itu CIPS juga merekomendasikan tata kelola kelembagaan dan usaha petani (Poktan, P3A) yang lebih formal dan profesional, serta evaluasi bantuan input dan peralihan dukungan secara berkala terhadap penyediaan barang publik dan perlindungan sosial.

Baca juga: Pacu peran BUMN, Erick sebut Program Makmur untuk sejahterakan petani

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022