Tobelo, Maluku Utara (ANTARA News) - Pernahkah terpikir bahwa masyarakat adat bisa memproduksi listrik dan bahkan berencana menjual kelebihan listriknya kepada PLN setempat? Kalau pemikiran itu belum ada, maka Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan, membuktikan hal itu sedang terjadi di Indonesia.
"Tempatnya tidak jauh dari Jakarta, di dekat Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Komunitas adat setempat, yaitu komunitas adat Kasepuhan Cipta Gelar, bisa membangun pembangkit listrik mikrohidro dengan pola pengelolaan berbasis adat namun memakai pola manajemen modern," katanya kepada antaranews.com di Kota Tobelo, Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara, Selasa.
Nababan berada di Tobelo untuk meninjau kesiapan Kota Tobelo untuk menjadi tuan rumah Kongres Keempat AMAN, pada pertengahan April 2012. Kongres nasional itu akan dihadiri sekitar 1.600 anggota komunitas adat dari seluruh Nusantara dan ribuan lain peserta dari berlatar profesi; bahkan ada puluhan peninjau dari manca negara dan institusi internasional.
Untuk studi kasus di komunitas Kasepuhan Cipta Gelar itu, kata Nababan, para tetua adatnya tetap memiliki peran sentral dalam rembug komunitas terkait pengelolaan pembangkit listrik mikrohidro itu.
Lokasi komunitas ini berdiam sekitar tiga jam perjalanan darat ke arah utara dari Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Jika melihat jarak di peta, sebetulnya cuma sekitar 40 kilometer saja; namun karena kondisi jalan yang buruk maka jarak sejauh itu menelan waktu hingga tiga jam bermobil.
Pola pengelolaan berbasis adat di sana, katanya, memungkinkan mereka bisa mendapatkan sejumlah keuntungan dalam kearifan setempat.
Dari situlah lalu sejumlah pelatihan dan peningkatan kapasitas SDM komunitas itu dilaksanakan secara berjenjang dan berlanjut. Akhirnya, melalui kepemimpinan ketua adat setempat, yaitu Abah Ugi, komunitas adat dengan populasi ribuan jiwa di sana bisa memiliki tiga pembangkit listrik mikrohidro.
Secara umum, kata Nababan, setiap rumah tangga di sana memerlukan hanya 200 Watt listrik saja. "Karena itulah mereka kelebihan daya terpasang dan kabarnya pihak PLN setempat tertarik untuk membeli listrik dari mereka. Kini sedang dibicarakan mekanisme ke arah itu. Tiap perkembangan dilaporkan secara terbuka dan langsung kepada anggota komunitas setempat," katanya.
Untuk mengomunikasikan hal itu, bahkan masyarakat adat di Kasepuhan Cipta Gelar itu memiliki juga jaringan radio komunitas dan televisi komunitas. Ada forum tertinggi bagi mereka untuk mengambil keputusan bersama, yaitu tiap Seren Taun, yang secara umum dikenal masyarakat di luar komunitas itu sebagai "syukuran panen" padi.
Menurut Nababan, sebetulnya salah satu fungsi Seren Taun di sana kini juga menjadi arena semacam laporan pertanggung jawaban kepengurusan koperasi komunitas itu kepada seluruh anggotanya. "Bukan cuma produksi listrik, tapi juga berapa kambing yang ada dan laku dijual, padi yang dipanen, anak yang disekolahkan, dan lain sebagainya. Semua memakai kerangka pendekatan nilai-nilai adat setempat," kata Nababan.
Bukti kedua kemampuan masyarakat adat beroleh manfaat mengandalkan basis adat itu adalah di komunitas Daya Iban Sungai Utik, Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Di dalam komunitas yang berlokasi sekitar 1,5 jam jalan darat arah utara dari Kota Putussibau itu, pengelolaan hutan berbasis adat menjadi andalan peri kehidupan mereka.
Dari sisi pengelolaan, koperasi beranggotakan seluruh warga komunitas adat itu juga menjadi pilihan yang andal. Bedanya, mereka memanen produk hutan setempat secara terpilih dan bijaksana sesuai dengan nilai adati yang dianut. "Panen buah tengkawang dilakukan dengan sejumlah pertimbangan adat. Hasil penjualannya, ditabung ke Credit Union yang terdapat di Putussibau yang dilaporkan kepada seluruh anggota komunitas," katanya.
Yang istimewa dari komunitas itu adalah mereka bisa tetap mempertahankan jatidiri dan nilai luhur adatinya walau akses jalan aspal menuju wilayah komunitas itu sangat baik. Lokasi mereka berdiam lebih dekat dengan Badau, Negara Bagian Sarawak, Malaysia, yang relatif lebih maju ketimbang kawasan lain di wilayah Indonesia di garis perbatasan negara itu.
Menurut Nababan, selama puluhan tahun masyarakat adat dikesampingkan sebagai manusia bangsa dalam kerangka negara bangsa Indonesia. Padahal, tata nilai adat dan kesatuannya dengan tanah di mana mereka berada merupakan modal besar negara ini untuk maju. Padahal lagi, Indonesia justru disusun dari komunitas-komunitas adat itu.
(A037)
Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011