Jakarta (ANTARA News) - Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Yusriyanto, yang kini mengelola kelompok Barisan Pergerakan Rakyat Nasionalis menyatakan menolak segala bentuk intervensi asing untuk Papua.
"Rakyat Papua tak menghendaki referendum. Aksi memperjuangkan referendum ulang itu digerakkan oleh antek-antek asing dengan memanfaatkan elite tertentu yang gila kekuasaan," katanya di Jakarta, Selasa.
Karena itu, ia mengajak seluruh komponen bangsa, termasuk kaum nasionalis di Tanah Papua agar bersama-sama merapatkan barisan menghadapi berbagai serbuan jejaring neokolonialisme-imperialisme (Nekolim) yang semakin serakah, dan tidak puas menghisap kekayaan Indonesia.
"Pemerintah jangan hanya gemar berwacana, sementara rakyat Indonesia di Bumi Papua dihadapkan dengan jejaring Nekolim untuk saling bunuh. Juga, Pemerintah Pusat jangan suka mengkambinghitamkan, seolah segala gejolak bersenjata di sana, karena aksi separatis," tandasnya.
Dikatakannya, Orang Papua, terutama yang masuk dalam Barisan Pergerakan Rakyat Nasionalis benar-benar merasa kecewa dengan stigma negatif Pemerintah Pusat atas mereka, apalagi sering dikait-kaitkan dengan `gerakan separatis`.
"Mereka warga sipil yang selama ini hanya kenal budaya panah, bukan senjata api. Siapa yang jago menembak dan pandai memegang senjata? Lalu dari mana senjata-senjata itu? Ini yang perlu diselidiki, bukan sembarangan menuduh ada `gerakan separatis` dibalik berbagai gejolak kerusuhan," tegasnya.
Ia menyatakan, semua ini merespons beberapa kegiatan yang berkaitan dengan Papua, seperti aksi unjuk rasa menuntut referendum di Jayapura (ibukota Provinsi Papua) dan di Manokwari (ibukota Provinsi Papua Barat).
Sementara itu, di London berlangsung sebuah seminar, dimotori oleh Benny Wenda, Jennifer Robinson dan Melinda Jankie yang membahas keabsahan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.
Benny Wenda dan kawan-kawan tergabung dalam `International Parliementarian for West Papua (IPWP) dan `International Lawyer for West Papua (ILWP), yang kemudian sering menjadikan isu Papua untuk kepentingan pribadi kelompok mereka.
Sebagian peserta seminar yang merupakan simpatisan separatisme beranggapan, Pepera ini tidak sah dan perlu diulang karena tak dilakukan sesuai standar internasional (`one man one vote`).
"Mengenai yang terjadi di Inggris, mestinya Pemerintah RI melalui Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) segera bertindak tegas, misalnya dengan memanggil Duta Besar Inggris di Jakarta, guna menyatakan protes keras kita. Jangan `melongo` dan berwacana saja," katanya.
Ia menilai, Inggris dan juga Amerika sangat licik memainkan peran dibalik semua aksi memprakarsai referendum Papua itu.
"Dulu Bung Karno sudah mengingatkan kita semua, bahwa dua negeri yang banyak memproduksi antek-antek Nekolim tersebut harus diwaspadai," tuturnya.
Sah Bersama RI
Yusriyanto menyatakan pula, Amerika, Inggris dan jejaring Nekolimnya memang belum puas menggaruk kekayaan alam Indonesia, terutama di Papua.
"Apalagi di sana masih ada Freeport yang menjadi `penghisap` utama kekayaan tembaga, emas bahkan uranium kita, juga BP dari Inggris yang memperoleh lisensi mengelola salah satu sumber gas alam terbesar di dunia," katanya.
Tetapi yang perlu dinyatakan secara tegas, menurutnya, Papua itu sah bersama RI dan mendapat pengakuan yuridis konstitusional secara internasional (melalui PBB).
Posisi Indonesia tak akan berubah mengenai wilayah Papua sebagai bagian dari NKRI, karena antara lain berbasis kepada Pepera yang sudah disahkan berdasar resolusi PBB.
"Hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) akhir 1960-an yang coba digugat segelentir elite mengatasnamakan Papua itu, sah sesuai `New York Agreement` 1962," tandasnya.
Pepera ini pun, menurutnya, sudah disahkan oleh Sidang Majelis Umum PBB melalui Resolusi 2505, pada tanggal 19 November 1969.
"Artinya, kembalinya Papua ke pangkuan Indonesia sudah didukung penuh oleh masyarakat internasional dan PBB. Karena itu, kita harus berpendapat dengan tegas tentang posisi Indonesia, yakni, Pepera itu sah sesuai `New York Agreement` 1962," kata Yusriyanto.
(M036/I007)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011
INTEGRASI BELUM SELESAI
PEPERA 1969,PT Freeport,Amerika Serikat,dan Indonesia.
integrasi Papua Barat ke dalam wilayah NKRI dilandasi oleh kepentingan ekonomi Amerika Serikat dan Indonesia. Tanah Papua Barat dan orang Papua menjadi korban dari konspirasi politik tingkat tinggi antara pemerintah Amerika Serikat dan Indonesia. Hal ini terbukti dengan penandatanganan Kontrak Pertambangan emas di Tanah Amungme, Timika, yang di lakukan oleh pemerintah indo dan amerika pada tahun 1997