Sementara lonjakan biaya bahan bakar dan kenaikan inflasi adalah tema utama bagi negara maju dan berkembang, sulit untuk mengambil tindakan bersama dengan forum seperti G20
Tokyo (ANTARA) - Para pemimpin keuangan dari 20 ekonomi teratas dunia (G20) akan memperdebatkan dampak dari ketegangan geopolitik yang masih ada, meningkatnya inflasi global, dan kebijakan moneter yang lebih ketat di beberapa kawasan pada pertemuan dua hari yang dimulai pada Kamis.
Tetapi kasus COVID yang meningkat membayangi pertemuan dengan banyak menteri yang menghadiri secara daring atau melewatkan pertemuan sama sekali, meningkatkan tantangan bagi upaya tuan rumah Indonesia untuk mendorong pemulihan global pascapandemi yang lebih luas dan lebih kuat.
Keanggotaan G20 yang beragam, yang terdiri dari Washington dan sekutunya, juga saingannya China dan Rusia, dapat mempersulit koordinasi kebijakan, kata mantan pembuat kebijakan bank sentral Jepangn (BOJ) Takahide Kiuchi.
"Sementara lonjakan biaya bahan bakar dan kenaikan inflasi adalah tema utama bagi negara maju dan berkembang, sulit untuk mengambil tindakan bersama dengan forum seperti G20," katanya.
Kepala keuangan G20 akan membahas krisis Ukraina, tetapi tidak jelas apakah mereka akan mengeluarkan pernyataan bersama dengan sinyal politik atau hanya bertukar pandangan, menurut seorang pejabat pemerintah Jerman.
Baca juga: Kelompok kerja keuangan G20 mulai pertemuan pertama secara virtual
Ketika Federal Reserve (Fed) AS mengincar kenaikan suku bunga dan beberapa mitranya terlihat mengikuti, para pemimpin keuangan G20 kemungkinan akan meminta bank sentral utama untuk mengomunikasikan niat mereka dengan jelas guna mencegah menyebabkan perubahan pasar yang besar.
"Komunikasi kebijakan moneter yang transparan dan jelas oleh bank-bank sentral utama tetap penting bagi ekonomi global, stabilitas harga dan stabilitas keuangan," kata sebuah dokumen dengan posisi yang disepakati anggota G20 Eropa, yang dilihat oleh Reuters.
Para pembuat kebijakan G20 juga diharapkan untuk memperingatkan negara-negara berkembang untuk bersiap menghadapi potensi kejatuhan pasar dari pengetatan moneter di negara-negara ekonomi utama, menurut dokumen tersebut.
Gubernur bank sentral Indonesia Perry Warjiyo mengatakan pada Rabu (16/2/2022) pasar negara berkembang akan mampu menghadapi pengetatan moneter global, termasuk kenaikan suku bunga AS, "jauh lebih baik" tahun ini dibandingkan dengan periode pengetatan sebelumnya.
Tetapi para menteri G20 menghadapi tugas yang sulit untuk mengarahkan kebijakan di tengah perbedaan global dalam kecepatan pemulihan dari pandemi.
Baca juga: Dolar jatuh, investor lihat risalah bank sentral AS kurang "hawkish"
Sementara kasus varian Omicron COVID-19 telah surut di banyak negara kaya, kasus tersebut masih meningkat di banyak negara berkembang termasuk tuan rumah Indonesia.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan pada Rabu (16/2/2022) bahwa risiko penurunan terus mendominasi, karena pembatasan mobilitas baru di beberapa negara dan ketidaksesuaian penawaran-permintaan kemungkinan akan menyeret pertumbuhan.
IMF telah mengatakan akan mencari dukungan G20 untuk memperkuat kerangka restrukturisasi utang bagi negara-negara miskin karena risiko gagal bayar meningkat dan tuntutan untuk persyaratan utang yang lebih mudah meningkat.
Menteri Keuangan AS Janet Yellen, yang akan berpartisipasi secara virtual, akan mendesak rekan-rekan G20-nya untuk membantu organisasi internasional mengatasi kemacetan dalam penyebaran vaksin, dan mendukung investasi dalam pencegahan pandemi, seorang pejabat Departemen Keuangan AS mengatakan.
Baca juga: Pelaksanaan pertemuan G20 jalur keuangan di Bali pindah ke Jakarta
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022