"Tontonan sahur menjelang sahur kendati lucu tapi sangat tidak mendidik karena mengesampingkan beberapa hal seperti etika. Adapun jika dicermati lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya," ujar Jimi Harianto, Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Lampung yang mengikuti KKN di Waykanan, Minggu, saat dihubungi dari Liwa, Lampung Barat yang berada sekitar 278 km sebelah utara kota Bandarlampung.
Selain minim dari nilai edukasi, ulas dia, banyolan fisik yang jauh dari cerdas jelas tidak bisa diharapkan untuk pembentukan karakter generasi Indonesia masa mendatang.
"Oleh sebab itu, negara melalui instansi terkait harus bertindak tegas atau bahkan mengambil alih tontonan sahur yang tidak mendidik dan menggantinya dengan tayangan bermutu semisal sejarah nabi," kata dia.
Susana Ekawati, penggiat buletin pendidikan "Cakak" di Kabupaten Waykanan mengatakan senada dengan Harianto jika tontonan menjelang sahur perlu ditinjau ulang oleh pemerintah.
"Mengingat televisi merupakan media pendidikan, selayaknya apa yang disajikan juga berkualitas. Terlepas dari Bulan Ramadhan sekalipun, tontonan di televisi seharusnya bernilai," kata dia.
Ia menilai materi yang disajikan di televisi swasta nasional sekitar 70 persen tidak bermanfaat bagi pembangunan bangsa Indonesia.
"Sinetron sebagai contoh, sebagian besar hanya menawarkan hal-hal tidak membangun, dan tidak memotivasi bagi perubahan bangsa, sangat disayangkan jika media tidak mendukung kemajuan bangsa," ujar dia.
Karena itu, imbuh dia, jika pemegang kebijaksanaan memang menghendaki Indonesia menjadi maju harus menggunakan tangan besi untuk mengarahkan televisi memberikan sajian berkualitas kepada masyarakat Indonesia.
"Terkecuali jika memang kemunduran dan kehancuran bangsa ini yang diinginkan, tayangan tidak mendidik tentu akan diberikan izin untuk bisa tayang selalu guna mendoktrin masyarakat bangsa Indonesia dengan hal-hal yang negatif," tegas dia. (ANT049/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011