Gorontalo (ANTARA) - Waktu menunjukkan pukul 09.30 saat kaki-kaki mereka menapaki tanah berlumpur di atas tanggul.
Sesekali ada yang berteriak, disusul tawa yang lain. Ternyata kaki salah satu dari mereka mendarat pada kotoran sapi yang berserakan di tempat itu.
“Awas jangan ribut, nanti burung-burung kabur,” ujar yang lain memperingatkan.
Cuaca tetap saja mendung, meski hujan sudah reda. Sejak pukul 06.00, Zulfikar Niode sebagai koordinator lapangan dan teman-temannya telah bersiap mengamati burung di sebuah danau, namun terhalang hujan deras.
Para mahasiswa ini mengenakan kostum dengan warna tak mencolok. Mereka dibagi dalam tiga kelompok, masing-masing dibekali dengan satu binokuler dan buku untuk memudahkan identifikasi jenis burung.
Setiap kelompok didampingi oleh satu pemandu, yang sudah berpengalaman sebagai pengamat burung dan fotografer satwa liar.
Beberapa menit kemudian, teropong mereka tertuju pada burung berwarna biru tua di bagian dada dan hitam di bagian kepala hingga punggung. Paruh dan kakinya berwarna merah, serta cukup lincah bermain di antara hamparan eceng gondok.
Burung yang teramati adalah burung mandar besar (Phorpyrio porphyrio), yang umum ditemukan di Danau Limboto. Jenis burung air tersebut juga kerap menjadi sasaran pemburu, yang biasanya berkunjung ke danau pada akhir pekan.
“Ternyata mengamati burung seru juga. Tantangannya adalah saat kita mengidentifikasi jenisnya apa. Baru mau mengamati ciri-cirinya, eh, burungnya sudah terbang,” kata salah seorang peserta, Tiara Olii.
Pengamatan ini adalah pengalaman pertama bagi Tiara dan kawan-kawannya yang tergabung dalam Kelompok Studi Lingkungan Archipelago. Namun demikian, ini bukan kali pertama mereka turut serta dalam aksi dan kampanye lingkungan.
Kelompok yang dibimbing oleh dosen Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo (UNG) Sri Sutarni Arifin dan Muhamad Rijal Syukuri ini bahkan ikut mengelola bank sampah kampus, mengajarkan warga membuat biopori, hingga bersih-bersih pantai.
“Kami mendorong mahasiswa memiliki perhatian khusus terhadap lingkungan, agar mereka bisa merancang bangunan yang ramah lingkungan atau mempertimbangkan ekosistem di sekitarnya dalam desainnya,” kata Sri yang juga Sekretaris Forum Komunitas Hijau (FKH) Kota Gorontalo.
Baca juga: Tiga lembaga lakukan sensus burung air di Danau Limboto Gorontalo
Sensus burung air
Pengamatan dan penghitungan jumlah burung di Danau Limboto merupakan kegiatan sensus burung air yang diinisiasi oleh tiga organisasi.
Organisasi tersebut adalah Biodiversitas Gorontalo (BIOTA), The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) Gorontalo, serta Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Gorontalo.
Bagi SIEJ dan AJI, kegiatan itu untuk memperkaya pengetahuan jurnalis dalam menulis isu lingkungan, terutama keanekaragaman hayati burung air dan habitat lahan basah.
Terlebih lagi, isu lingkungan belum menjadi prioritas dalam tulisan yang dihasilkan oleh jurnalis maupun media massa di Gorontalo.
Sekretaris BIOTA Rosyid Azhar mengatakan, sensus burung air di Danau Limboto adalah rangkaian dari Asian Waterbird Census (AWC) 2022 yang juga digelar di daerah dan negara lainnya.
Danau Limboto dipilih menjadi salah satu lokasi sensus, karena kawasan tersebut merupakan habitat bagi lebih dari 100 jenis burung yang telah terdata oleh BIOTA selama enam tahun terakhir.
Menurutnya, tekanan yang dialami Danau Limboto cukup kompleks, mengingat masalah pendangkalan dan penyusutan luas masih terus terjadi.
“Sensus burung hari ini kami mendata ada 21 jenis, 10 diantaranya adalah jenis burung air. Saya berharap lebih banyak burung yang teramati, tapi kami memulai pengamatan agak siang. Idealnya adalah pagi dan sore, saat burung mulai beraktivitas mencari makan atau kembali ke sarangnya,” ujar Rosyid.
Spesies burung air yang tercatat adalah bambangan hitam (Ixobrychus flavicollis), blekok sawah (Ardeola speciosa), cangak merah (Ardea purpurea), kuntul kerbau (Bulbucus ibis), dan kuntul kecil (Egretta garzetta).
Jenis lainnya adalah belibis kembang (Dendrocygna arcuata), tikusan alis putih (Amaurornis cinerea), dara laut kumis (Chlidonias hybrida), dan mandar besar (Phorphyrio phorphyrio).
“Kami juga mencatat jenis lain tapi tidak termasuk burung air seperti elang paria, cabak kota, dan bubut alang-alang. Tidak semua burung yang berada di dekat perairan adalah burung air. Yang dimaksud sebagai burung air adalah yang kehidupannya bergantung pada lahan basah,” ujarnya.
Baca juga: Pakar: Ekowisata penting bagi konservasi burung air di lahan gambut
Semua bisa berpartisipasi
Burung air lebih banyak ditemukan di habitat lahan basah alami maupun buatan, termasuk sungai, danau/situ, kolam, tambak, pantai/pesisir, mangrove, rawa gambut, sawah, tempat pembuangan limbah atau sampah, serta berbagai lokasi lain di mana ditemukan burung air.
Koordinator Pelaksana AWC Indonesia Ragil Satriyo Gumilang mengatakan, AWC merupakan bagian dari International Waterbird Census(IWC) yang bersifat global, yaitu kegiatan tahunan dengan basis jaringan kerja yang bersifat sukarela.
Menurutnya, sensus burung air Asia yang dilaksanakan di Indonesia, bertujuan untuk mendukung pemutakhiran data spesies, populasi, dan habitat penting burung air.
Kegiatan ini juga untuk meningkatkan kapasitas dan penyadartahuan publik, tentang nilai penting burung air dan lahan basah di Indonesia.
Status sejumlah 871 jenis burung air kemudian dikaji secara ilmiah, untuk menentukan kegiatan pengelolaannya.
Di Indonesia, data mengenai populasi bermanfaat dalam memformulasikan pengelolaan sejumlah taman nasional, serta menentukan lokasi penting untuk Konvensi Ramsar dan East Asian Australasian Flyway Partnership, serta status jenis-jenis satwa liar yang dilindungi.
Sejak tahun 1986, Yayasan Lahan Basah/Wetlands International Indonesia telah mengawal pelaksanaan program Asian Waterbird Census (AWC) di seluruh Indonesia.
Pada tahun 2022, kegiatan citizen science AWC Indonesia bersama-sama diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Yayasan Lahan Basah/Wetlands International Indonesia, Yayasan Ekologi Satwa Alam Liar Indonesia, Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia, dan Burungnesia.
Sensus ini dilaksanakan satu kali setahun secara serentak. Pada tahun 2022, AWC di Indonesia digelar selama Januari sampai Februari.
Jenis yang disensus diantaranya kelompok kuntul, cangak, bangau, kowak, bebek, ayam-ayaman, pecuk, pecuk ular, pelikan, camar, tikusan, blekok, dan burung air lainnya.
“Siapa saja bisa berpartisipasi, baik pengamat burung profesional, pengamat burung amatir, pencinta alam, atau yang tidak pernah mengamati burung sekalipun,” kata Ragil.
Baca juga: Sensus burung air di Ancol untuk pelestarian keanekaragaman hayati
Hasil Sensus 2021
Sebagai pihak yang mengawal sensus burung air setiap tahun, Ragil mengamati adanya perubahan di lapangan dari data yang dihasilkan AWC Indonesia pada tahun 2021.
Jumlah sukarelawan AWC di Indonesia menurun dari 564 orang pada tahun 2020, menjadi 402 orang (87 lembaga) pada tahun 2021.
“Jumlah partisipan menurun sekitar 29 persen pada tahun 2021, karena adanya aturan pembatasan mobilitas termasuk aktivitas kampus dan masyarakat selama pandemi COVID-19,” katanya.
Meski demikian, jumlah lokasi pengamatan meningkat 70 persen dari 124 lokasi pada tahun 2020, menjadi 211 lokasi pada tahun 2021 dengan lokasi terbanyak di Pulau Jawa, kemudian Sumatera, Kalimantan, Bali/Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi, dan Papua.
Menurutnya salah satu penyebab peningkatan tersebut adalah kemudahan dalam mekanisme pelaporan data, yang dapat dilakukan melalui aplikasi Burungnesia di telepon genggam.
Pada sensus tahun 2021, jumlah individu burung terlaporkan dan terverifikasi sebanyak 77.436 yang terdiri dari 81 persen burung air, 16 persen burung non air, serta 3 persen burung air yang tak teridentifikasi.
Dari sisi keragaman spesies, terdapat 272 jenis burung yang terlaporkan, meliputi 105 jenis burung air dan 167 jenis non burung air.
“Dari 105 jenis burung air tersebut, 55 persen diantaranya berstatus dilindungi,” imbuhnya.
Berdasarkan status konservasi daftar merah The International Union for Conservation of Nature (IUCN Redlist), jumlah jenis burung air terlaporkan dengan status terancam (endangered) ada lima jenis.
Kelima jenis tersebut adalah kedidi besar (Calidris tenuirostris), bangau storm (Ciconia stormi), bangau bluwok (Mycteria cinerea), gajahan timur (Numenius madagascariensis), trinil nordmann (Tringa guttifer).
Sedangkan burung air berstatus rentan (vulnerable) dua jenis, yakni kuntul cina (Egretta eulophotes) dan bangau tongtong (Leptoptilos javanicus).
Baca juga: Kehati nilai ada perbaikan habitat di hutan lindung Angke Kapuk
Tidak terlaporkan
Tantangan ke depan dalam sensus burung air dan pelestariannya adalah mengenai dukungan masyarakat dan pemangku kepentingan.
“Saat ini masih terdapat kesenjangan data dan lokasi pengamatan antar wilayah Indonesia. Lokasi di wilayah Indonesia bagian tengah hingga timur masih cukup sedikit yang terlaporkan dan lebih dari 50 persen yang terlaporkan berada di Pulau Jawa,” ungkapnya.
Selain itu, masih banyak lokasi habitat penting bagi burung air yang informasinya belum terdokumentasi dengan baik dan rutin.
Sedangkan dari sisi jumlah spesies, ada sekitar 32 persen spesies burung air yang pernah tercatat di Indonesia tapi tidak terlaporkan pada kegiatan AWC Indonesia pada lima hingga enam tahun terakhir.
Padahal keterbatasan akses data dan informasi, serta kurangnya pemutakhiran data pemantauan akan menghambat upaya konservasi yang efektif. Hal ini juga akan memberi ketidakpastian dalam pengendalian penurunan populasi satwa liar.*
Baca juga: Sensus burung di Angke Kapuk identifikasi 14 jenis burung
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022