Jakarta (ANTARA) - Ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold telah menjadi salah satu isu panas menjelang Pemilihan Umum 2024. Padahal, pemilihan umum merupakan momen yang paling penting bagi negara yang menganut sistem presidensial seperti Indonesia.
Sistem presidensial memberi panggung kekuasaan eksekutif tertinggi kepada Presiden. Baik negara maupun pemerintahan, keduanya dipimpin langsung oleh seorang presiden yang dipilih rakyat melalui pemilihan umum atau pemilu.
Oleh karena itu, pemilu merupakan momen yang paling krusial, termasuk berbagai tahapan serta regulasinya.
Keberadaan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen merupakan salah satu regulasi yang menuai perhatian publik menjelang Pemilu 2024.
Mulai dari Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, berbagai partai politik, hingga organisasi sipil yang bergerak di bidang kepemiluan dan perpolitikan negara memadukan suara mereka guna menyuarakan dukungan terhadap penghapusan ambang batas tersebut.
Tidak hanya membawa isu ambang batas pencalonan presiden ke media massa dan diskusi publik, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengungkapkan terdapat tujuh permohonan uji materi terkait ambang batas pencalonan presiden di Mahkamah Konstitusi.
Sebanyak tujuh permohonan tersebut diajukan oleh perorangan warga negara, serta terdapat permohonan yang diajukan oleh para senator DPD.
Mereka memandang keberadaan ambang batas pencalonan presiden ini membatasi jumlah calon presiden, bahkan berpotensi menimbulkan polarisasi bangsa akibat persaingan politik yang begitu kental apabila hanya terdapat dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berkompetisi dalam pemilu.
Lantas, bagaimana pengaruh ambang batas pencalonan presiden pada sistem presidensial di Indonesia?
Baca juga: Pakar: Ambang batas pilpres hasilkan polarisasi dan disharmoni sosial
Pemaksaan Koalisi
Indonesia merupakan negara penganut sistem presidensial dan sistem multipartai sekaligus. Menurut Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, kombinasi kedua sistem tersebut merupakan sebuah kabar buruk.
Apalagi, menjelang Pemilu 2024, alih-alih berkurang, jumlah partai politik di Indonesia justru kian bertambah, seperti munculnya Partai Gelora, PKN, Prima, Partai Buruh, Partai Rakyat, Masyumi, dan lain sebagainya.
Banyaknya partai yang mungkin berkompetisi di dalam pemilihan umum akan berdampak pada sulitnya satu partai untuk memenangkan pemilihan secara mayoritas. Akibatnya, dukungan kepada presiden di kalangan legislatif juga akan sulit untuk diperoleh.
Dalam sistem multipartai, tutur Bivitri, biasanya Presiden memperoleh dukungan mayoritas legislatif melalui koalisi partai. Akan tetapi, mengingat sistem presidensial yang mengakibatkan presiden tidak memiliki tanggung jawab kepada kekuasaan legislatif dan tidak dapat dipecat oleh lembaga legislatif, keinginan untuk membentuk koalisi pun minim.
Sistem presidensial memungkinkan presiden untuk membentuk pemerintahan tanpa melibatkan partai-partai di legislatif. Keadaan ini dapat berakibat pada buruknya hubungan eksekutif-legislatif dan berujung pada kebuntuan atau deadlock.
Mengatasi permasalahan tersebut, Indonesia pun memberlakukan ambang batas pencalonan presiden untuk menjamin dukungan kepada presiden di parlemen sehingga mencegah terjadinya kebuntuan dalam menjalankan pemerintahan.
Akan tetapi langkah tersebut merupakan langkah yang kurang tepat. Keberadaan ambang batas pencalonan presiden memaksa partai untuk membangun koalisi dalam waktu yang singkat. Pemaksaan ini mengakibatkan partai-partai membuat koalisi yang pragmatis hanya untuk mendapat tiket pencalonan pada pemilihan presiden.
Negosiasi yang terjadi pun bukan berdasarkan ideologi partai, melainkan bersifat pragmatis. Terlebih, ideologi partai di Indonesia cenderung mirip antara partai yang satu dengan yang lainnya.
Ambang batas pencalonan presiden memungkinkan terbangunnya koalisi besar yang meniadakan negosiasi per isu dan berdampak pada minimnya alternatif kebijakan di DPR.
Tidak hanya memengaruhi dinamika di parlemen, Bivitri juga mengatakan ambang batas pencalonan presiden dapat mengakibatkan calon presiden terbelenggu oleh kepentingan partai sehingga mereka tidak melakukan transaksi programatik.
Kabinet pun cenderung berasal dari partai koalisi dan dapat mengakibatkan kurangnya profesionalitas dalam menjalankan tugas mereka.
Baca juga: Ini kata Perludem soal "presidential treshold" 20 persen
Winning Threshold
Seluruh pergolakan yang berlangsung merupakan perjalanan menuju pesta demokrasi pada 2024.
Bivitri mengungkapkan alternatif lain daripada mempertahankan keberadaan ambang batas pencalonan presiden. Alternatif tersebut adalah winning threshold atau ambang batas untuk menghitung siapa yang menang.
Sebagaimana ambang batas pencalonan presiden, winning threshold juga dapat menjamin dukungan parlemen kepada presiden yang memenangkan pemilu. Winning threshold tidak membatasi orang-orang yang ingin maju menjadi calon presiden, tetapi memberi syarat dukungan minimal bagi calon yang memenangkan pemilu.
Makna presidential threshold di negara presidensial lain pun, kata Bivitri, biasanya merujuk pada definisi winning threshold dan bukan ambang batas pencalonan presiden. Hal tersebut diakibatkan oleh tidak lazimnya pencalonan dibatasi berdasarkan perolehan suara.
Terkait dengan kekhawatiran banyaknya orang yang mendaftarkan diri sebagai calon presiden, Bivitri menegaskan terdapat kualifikasi administratif dan teknis yang dapat mencegah tidak terkendalinya jumlah pendaftar.
Winning threshold dapat memberi peluang kompetisi bagi para calon presiden yang memiliki potensial, berbeda dengan ambang batas pencalonan presiden.
Bivitri memandang ambang batas pencalonan presiden menutup peluang kompetisi. Hal ini tidak hanya merugikan calon potensial, tetapi seluruh warga Indonesia karena mendapatkan calon yang sudah dipilih oleh partai politik berdasarkan kepentingan partai.
Oleh karena itu, Bivitri mendorong adanya penghapusan ambang batas pencalonan presiden.
Putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi ambang batas pencalonan presiden menjadi salah satu putusan yang sangat ditunggu-tunggu oleh pegiat pemilu. Putusan tersebut akan menentukan manuver-manuver politik dari berbagai partai ke depannya, bahkan dapat memengaruhi dinamika perpolitikan Indonesia baik sebelum dan sesudah pemilihan presiden.
Baca juga: Syarief Hasan: Menaikkan ambang batas parlemen bukan pilihan tepat
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2022