Jakarta (ANTARA News) - Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornoaksi dan Pornografi di DPR yang telah berlangsung sejak 1999, masih alot dan belum selesai.
"Pembahasan RUU yang lain cepat selesai dan hasilnya disahkan menjadi undang-undang, tetapi proses penetapan RUU Pornografi dan Pornoaksi sangat lama," kata Yoyoh Yusroh, Wakil Pansus RUU Pornografi dan Pornoaksi Komisi VIII DPR, ketika dihubungi di Jakarta, Selasa.
Yoyoh mengatakan DPR masih membahas RUU Pornoaksi dan Pornografi seiring keinginan dari mayoritas masyarakat yang menghendaki agar UU Pornografi dan Pornoaksi segera ditetapkan.
"Pornografi dan pornoaksi dapat membuat pekerja kehilangan etos kerja, dan pelajar merosot prestasinya. Kondisi itu harus segera diperbaiki sekarang juga," katanya.
Bangsa Indonesia kini menunjukkan prestasi yang rendah seperti berhutang dan aksi terorisme, karena itu diharapkan agar tidak bertambah dengan masalah baru dengan persoalan yang ditimbulkan oleh dampak dari pornografi dan pornoaksi, katanya.
Yoyoh berpendapat Presiden seharusnya mengeluarkan surat perintah kepada DPR untuk segera melakukan pembahasan pornoaksi dan pornografi. Pembahasan tersebut akan sangat membantu dalam pembahasan RUU Pornografi dan Pornoaksi.
"Saya berharap Presiden segera mengeluarkan surat perintah, sehingga dapat memudahkan penentuan UU Pornografi dan pornoaksi," katanya.
Disinggung soal rencana penerbitan majalah Playboy versi Indonesia, Yoyoh mengaku sangat menentang rencana tersebut, karena majalah khusus pria dewasa itu dikhawatirkan dapat merusak moral bangsa.
"Di negara-negara tetangga seperti Malaysia, Hongkong, dan Thailand yang mayoritas penduduknya tidak beragama Islam saja mereka menolak. Apalagi Indonesia sebagai negara berketuhanan," katanya.
Yoyoh menegaskan pihaknya menolak rencana penerbitan majalah Playboy versi Indonesia karena jika diterima, bisa menjadi "keran" bagi masuknya majalah atau tabloid serupa ke Indonesia.
Hasil penelitian oleh Media Watch LPPKM IISP menunjukkan bahwa dari 15 judul sinetron yang tayang di tujuh televisi swasta di Indonesia, tercatat 49 persen pemain sinetron yang mengenakan pakaian tidak senonoh, 14 persen adegan merayu, 11 persen merangkul, dan 11 persen lagi adegan menatap penuh hasrat pada lawan jenis.
Kampanye TV Sehat (KTS) menyebutkan data penonton anak-anak di Jakarta pada tahun 2002 menghabiskan 30-35 jam dalam seminggu untuk menonton televisi, padahal seharusnya dengan kelonggaran pada hari libur jam menonton TV oleh anak-anak tidak lebih dari 15 jam dalam seminggu. (*)
Copyright © ANTARA 2006