Yogyakarta (ANTARA News) - Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin
mengatakan sangat mengherankan jika di masyarakat yang religius
seperti Indonesia, masih ada sekelompok masyarakat yang menolak
Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Pornografi dan Pornoaksi.
"Saya tidak habis pikir dengan adanya kelompok masyarakat yang menolak RUU itu, termasuk menolak larangan terbitnya majalah Playboy versi Indonesia, dengan dalih terbitnya RUU itu akan memasung kreatifitas dan kebebasan berekspresi," ujar dia dalam cermahnya memperingati Tahun Baru Hijriyah 1 Muharam 1427 H di Masjid Gedhe Kraton Yogyakarta, Senin malam.
Ia mengatakan penolakan terhadap RUU tersebut juga sebenarnya merupakan bagian dari skenario yang terorganisir untuk merusak moral bangsa Indonesia, khususnya umat Islam. "Sebab, untuk melawan umat Islam secara frontal dan konfrontatif, mereka tidak berani," sambungnya.
Menurut Din Syamsuddin, dalam sejarah apabila umat Islam memperoleh perlawanan secara terbuka dan frontal, umat Islam justru menjadi kuat. "Maka, mereka merusak umat Islam dengan cara seperti itu," tegas dia.
Dikatakannya sangat tidak mungkin dalam masyarakat religius dan memiliki adat ketimuran yang kental seperti Indonesia, terbit sebuah majalah berbau pornografi. "Ini jelas harus ditolak dengan tegas," tandasnya.
Karena itu, kata dia, PP Muhammadiyah bersama organisasi Islam lainnya, dan juga umat agama yang lain, meminta kepada pemerintah untuk bersikap tegas dengan melakukan tindakan pencegahan terhadap rencana beredarnya majalah Playboy di Indonesia.
Peredaran majalah Playboy bukan kasus kecil, dan ini sangat berbahaya, karena menyangkut kebebasan moral di Indonesia. "Jika sekali majalah itu diizinkan beredar di Indonesia, masyarakat di negeri ini akan menjadi bangsa yang memiliki moral sebebas-bebasnya," ujarnya.
Karena itu, sudah saatnya bangsa Indonesia "berhijrah" dari kemungkaran menuju kesusilaan dan akhlak mulia, seperti halnya Nabi Muhammad SAW melakukan hijrah dari kota Mekah menuju Madinah, yakni hijrah dari kemusrikan menuju ketauhidan, demikian Din Syamsuddin. (*)
Copyright © ANTARA 2006