Sofyan masih muda, usianya baru menginjak 23 tahun. Ia harus mengembuskan napasnya yang terakhir setelah berjuang melawan diebetes mellitus. Penyakit yang diderita selama dua tahun terakhir ini hanya diobati sekadarnya.
Bukan tak ingin Sofyan dan keluarganya berobat dengan sepenuh hati, tapi mahalnya biaya pengobatan, membuat keluarga Sofyan harus berhitung cermat dan menghemat. Kalau tidak sedang sangat parah, penyakit diabetes mellitus yang diderita Sofyan cukup diobati dengan ramuan obat-obatan yang dibuat sendiri.
Bahkan menjelang ajalnya pun, Sofyan cuma ditangani oleh seorang bidan dekat rumah. Sofyan hanya seorang pemuda lulusan SMA. Kerjanya serabutan, sekadar mengatasi beban agar tidak menganggur.
Sofyan anak sulung dari tiga bersaudara. Ayah Sofyan telah meninggal dunia beberapa tahun silam.
Sementara ibunya hanya berjualan makanan di depan rumah untuk menambal keperluan hidup sehari-hari. Setiap kali harus berobat dan di rawat di rumah sakit, ibunya terpaksa harus meminjam uang untuk menutup biayanya.
Jika semakin lama Sofyan dirawat di rumah sakit, maka semakin banyak pinjaman yang harus ditanggung keluarga Sofyan. Bagi keluarga Sofyan, sakit adalah pelesakan kemiskinan yang semakin dalam.
Kisah keluarga Sofyan merupakan gambaran banyak keluarga di Indonesia. Kelurga-keluarga yang hidup hanya sedikit di atas garis kemiskinan bisa jatuh ke dalam jurang kemiskinan, manakala ada anggota keluarganya yang jatuh sakit secara serius.
Biaya pengobatan yang mahal, baik untuk pemeriksaan dokter, biaya obat, dan pelayanan rumah sakit membuat siapa saja yang termasuk kategori miskin akan terpuruk dalam lubang yang lebih dalam di lembah kemiskinan.
Slogan biaya berobat gratis terutama bagi keluarga miskin, masih sebatas hiasan dalam kampanye politik, terutama sebagai pidato pemerintah pusat dan daerah.
Sampai saat ini belum cukup bukti yang kuat bahwa setiap orang miskin akan betul-betul dilayani secara gratis dalam segala bentuk pelayanan (periksa dokter, obat, operasi, rawat inap, pelayanan, dan keperluan medis) di rumah sakit pemerintah.
Ada saja alasan yang dibuat untuk tidak memberikan pelayanan gratis secara paripurna kepada orang miskin. Padahal kita semua mengetahui bahwa manakala orang miskin diminta membayar biaya pengobatan atas sakitnya, maka mereka jelas tidak akan mampu.
Selama persoalan penyediaan jaminan kesehatan masyarakat miskin belum terselesaikan, jangan berharap angka kemiskinan akan anjlok mendekati titik nol.
Beban biaya berobat yang harus ditanggung oleh banyak keluarga miskin dan kelompok nyaris miskin akan menjadi faktor penting bertenggernya angka kemiskinan di level dua digit.
Dengan bertahannya angka kemiskinan di atas 10%, maka kita masih harus menyaksikan derita kemiskinan masyarakat sebagai akibat persoalan beban pengobatan.
Kita mungkin pernah menyaksikan seseorang yang sedang menggelepar menahan sakit karena kekurangan darah menjadi bertambah sakit, karena darah yang akan ditransfusikan harganya tidak mampu ia bayar.
Kita pun mungkin pernah mendengar ada seorang yang mengalami tumor di kepala, terjerembab di lantai karena ditolak dengan ketus oleh petugas rumah sakit, hanya karena tidak memiliki uang cukup sebagai jaminan pengobatan.
Rasa sakit yang diderita keluarga miskin semakin terasa sakit, ketika mengetahui bahwa mereka tidak mampu membayar biaya mengobati sakitnya.
(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011