Rowling ingin agar publik global membiarkan dirinya hidup dengan denyut hati, bukan semata mengandalkan denyut otak dengan pertimbangan serba rasional

Jakarta (ANTARA News) - Gedebuk! Ini efek kontan dari rangkaian kata yang menyatu dalam kalimat kemudian menggumpal dalam gagasan imajinatif yang menjejal berdesak-desakan ke benak publik sejagad. Buku-buku garapan J K Rowling menguatkan kredo bahwa manusia kini terlempar dari kesehariannya.

Sosok Harry Potter menawarkan kontroversi di pasar imajinasi. Orangtua mendulang tanya, apakah anak-anak mereka aman-aman saja membaca buku dan menyaksikan tayangan petualangan para punggawa Sekolah Sihir Hogwarts. Orangtua mendamba "dunia yang serba pasti, serba rasional". Anak-anak mendamba "dunia yang serba tidak mungkin, dunia di seberang sana".

Baik orangtua maupun anak-anaknya tercekat ke dalam "layar raksasa" bernama dunia. Padahal montase dunia menawarkan kedalaman dan keluasan. Dan anak-anak ingin tampil sebagai pelukis di langit-langit imajinasi.

Dari mana datangnya sihir? Bahasa apa yang terpenting bagi penyihir? Mengapa Prof McGonagall menjadi kucing? Mengapa penyihir menggunakan tongkat sihir dan menyebut aneka mantera? Jika Dumbledore begitu sakti, bukankah ia seharusnya menghadapi Voldemort?

Rangkaian tanya itu mengerucut kepada vonis bahwa buku Harry Potter bukanlah buku yang aman. Alasannya, buku itu menyajikan kisah tak bertuhan dan mengandalkan sihir. Vonis kedua, buku itu tidak seirama dengan semangat lingkungan hidup global karena tidak menggunakan kertas daur ulang.

Organisasi lingkungan Greenpeace dan National Wildlife Federation meminta kepada konsumen di Amerika Serikat yang berencana membeli Harry Potter and the Half-Blood Prince agar membelinya dari terbitan Kanada, Raincoast Books, yang mencetaknya di atas kertas daur ulang dua persen, bebas-klorin, dan tidak menggunakan bahan dari pepohonan purba. Wah?

Keprihatinan itu ingin cepat-cepat dipupus di Hogwarts. Di sana ada menara besar, kamar rahasia, tangga bergerak dan sejumlah lukisan yang para tokohnya bisa berjalan-jalan. Budaya murid-murid Hogwarts sarat dengan petualangan dan kenakalan. Ups, itulah dunia anak-anak yang senantiasa mendamba lezatnya imajinasi.

Imajinasi bukan meletak di langit ketujuh. Imajinasi kini beroleh gelontoran fulus. Sejak rilis pertama novel ini, Harry Potter dan Batu Bertuah pada tahun 1997 di Inggris, buku ini mendulang ketenaran dan menangguk kesuksesan secara komersial di seluruh dunia, diangkat menjadi film, video game, dan beragam pernik merchandise.

Film Harry Potter merupakan salah satu film dengan keuntungan kotor terbesar sepanjang masa mencapai 3,5 miliar dolar AS, di bawah serial-serial James Bond (4,3 miliar dolar AS) dan Star Wars (6 miliar dolar AS). Seri Harry Potter tampil sebagai film dengan gelontoran keuntungan kotor terbesar di dunia untuk kategori film yang diadaptasi dari buku, dan mengalahkan trilogi film The Lord of the Rings (2,9 miliar dolar AS).

Yang aktual, "Harry Potter and the Deathly Hallows - Part 2", film kedelapan dan terakhir Harry Potter, menyabet
penghasilan aduhai, sementara film itu masih terus ditayangkan di seluruh dunia, kata distributor Warner Bros., Senin (1/8).

Film tersebut menjadi film peraih penghasilan selangit dalam lintas sejarah Warner Bros., dengan penghasilan keseluruhan sebanyak 1,008 miliar dolar AS, termasuk sebanyak 318,48 juta dolar dari pasar dalam negeri Amerika Utara dan 690 juta dolar dari luar negeri.

"Yang benar-benar mengejutkan, jumlah ini diperoleh sangat cepat setelah peluncuran film itu," kata Presiden Distribusi Domestik Warner Bros. Pictures Dan Fellman. "Tinjauan luar biasa film itu, kekuatan pengakuan dari mulut ke mulut dan capaian bisnis akan memastikan Harry Potter akan menarik penonton bioskop selama berbulan-bulan ke depan," katanya.

Hingga Minggu (31/7), film tersebut telah berhasil menduduki tempat nomor satu di box office dunia selama tiga pekan berturut-turut. Selama itu, film tersebut meraup 66,6 juta dolar AS dari 14.500 layar di 60 lokasi.

Mengapa Harry Potter garapan Rowling begitu digdaya? Meledaknya novel Harry Potter sama sebangun dengan menjamurnya obsesi masyarakat postmodern terhadap spiritualitas, tulis Audifax dalam bukunya "Mite Harry Potter, Psikosemiotika dan Misteri Simbol di Balik Kisah Harry Potter".

Harry Potter bukan superhero, bukan Superman, bukan Power Ranger, tetapi terpanggil bereaksi dalam situasi serba super. Mengapa? Letak kekuatan Harry, yaitu membiarkan imajinasi lahir, mengembara dan hidup bagi pembaca. Selama ini, anak-anak dan remaja senantiasai dicekoki suatu imaji yang sudah dibentuk (given image).

Rowling mengetahui bahwa setiap orang memiliki sisi anak-anak dalam dirinya yang senantiasa tertarik kepada cerita-cerita menarik dan imajinatif. Membaca kisah Harry Potter adalah saat ziarah bagi setiap orang untuk menemukan dirinya (Dasein) dan memberontak dari keseharian (das Mann).

Rowling ingin agar publik global membiarkan dirinya hidup dengan denyut hati, bukan semata mengandalkan denyut otak dengan pertimbangan serba rasional. Ini efek Gedebuk dari kisah Harry Potter yang menyentak relung hati setiap manusia.

Bicara soal rasionalitas sebagai "kemasuk-akalan", filsuf postmodern Richard Rorty mengemukakan apa yang dinyatakan sebagai "tidak mungkin" oleh pertimbangan-pertimbangan logis, ditegaskan sebagai "mungkin" terjadi oleh imajinasi.

Imajinasi kini tidak dipandang sebagai sesuatu di seberang kebenaran yang bertolak dari "rasionalitas". Imajinasi memuat kemasukakalan dan memuat potensi untuk menghadirkan kebenaran. Gedebuk!

Dan Rowling mengatakan kepada Radio Times, "Lihatlah dengan penuh kerendahan hati bahwa anda bagian dari ranting keluarga yang besar. Kenyataan ini justru memperkuat diri".

"Antara 1993 dan 1997, saya bekerja sebagai guru sekolah dasar, dan menulis novel. Suatu ketika, saya dilanda depresi. Saya patah semangat dan merasa semua sia-sia. Situasi ini sungguh tidak membantu kita dalam menjalani hidup," katanya.

Keranjingan Harry Potter? Boleh-boleh saja.
(A024)

Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2011