Sekali lagi perlu kami tegaskan tentang posisi Indonesia, bahwa Pepera itu sah sesuai `New York Agreement` 1962. Dan hasil Pepera sudah disahkan oleh Sidang Majelis Umum PBB melalui Resolusi 2505, 19 November 1969.

Jakarta (ANTARA News) - Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq menegaskan, posisi Indonesia tak akan berubah mengenai wilayah Papua sebagai bagian dari NKRI, karena soal itu berbasis kepada Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang sudah disahkan berdasar resolusi PBB.

"Hasil Pepera itu sah sesuai `New York Agreement` 1962 dan Pepera ini pun sudah disahkan oleh Sidang Majelis Umum PBB melalui Resolusi 2505, pada tanggal 19 November 1969," ujarnya kepada ANTARA News, di Jakarta, Kamis.

Ini berarti, demikian Mahfudz Siddiq, kembalinya Papua ke pangkuan Indonesia sudah didukung penuh oleh masyarakat internasional dan PBB.

Ia mengatakan itu, mengomentari aksi sekelompok pejuang separatis Papua di Inggris yang antara lain mempermasalahkan keabsahan Pepera tersebut.

Sebagaimana diberitakan ANTARA News, Rabu (3/8) kemarin, seminar di London ini dimotori oleh Benny Wenda, Jennifer Robinson dan Melinda Jankie yang tergabung dalam `International Parliementarian for West Papua (IPWP) dan `International Lawyer for West Papua (ILWP).

Isu bahasan seminar itu antara lain mengkaji mengenai keabsahan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.

Sebagian peserta seminar yang merupakan simpatisan separatisme beranggapan, Pepera ini tidak sah dan perlu diulang karena tak dilakukan sesuai standar internasional (`one man one vote`).

Hampir bersamaan, di Jayapura (ibukota Provinsi Papua) dan Manokwari (ibukota Provinsi Papua Barat), berlangsung aksi unjuk rasa yang menghendaki referendum serta mempersoalkan Pepera itu.

"Sekali lagi perlu kami tegaskan tentang posisi Indonesia, bahwa Pepera itu sah sesuai `New York Agreement` 1962. Dan hasil Pepera sudah disahkan oleh Sidang Majelis Umum PBB melalui Resolusi 2505, 19 November 1969," tegas Mahfudz Siddiq.

Sebagai Wakil Ketua Komisi I DPR RI yang membidangi Luar Negeri, Pertahanan, Intelijen, Komunikasi dan Informatika, ia menegaskan, prinsip dasar itu tak akan pernah diubah.

"Tetapi kami juga mengharapkan Pemerintah Pusat melakukan pendekatan yang lebih humanis, berbasis kultural, bahwa kita semua satu. Juga selalu konsisten saja pada amanat Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua," tandas Mahfudz Siddiq.

(M036) (D009)

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011