Jakarta (ANTARA News) - Kapolri Jenderal Polisi Sutanto mengatakan, polisi tak bisa memeriksa orang yang disangka terlibat dalam pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir hanya berdasarkan dugaan tapi harus dilandasi oleh alat bukti atau fakta hukum. Kapolri yang berbicara dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR di DPR Senin, menambahkan bahwa upaya mengungkap dalang pembunuh Munir mengandung kesulitan yang tinggi. Dia mengatakan, tempat kejadian peristiwa (TKP) kasus pembunuhan Munir yang berupa pesawat terbang merupakan lokasi yang berpindah-pindah sehingga mempersulit pencarian bukti-bukti hukum yang diperlukan oleh polisi. Kapolri juga mengungkapkan rasa senangnya jika dalang pembunuh Munir dapat ditemukan segera. Pernyataan Kapolri itu untuk menanggapi anggota Komisi III DPR dari FPKS Mutammimul Ula yang mendesak Kapolri untuk menuntaskan kasus Munir. Mutammimul mengatakan, Polri mestinya memeriksa Muhdi Purwo Pranjono, mantan Deputi Badan Intelejen Negara (BIN) yang dinilai terindikasi terlibat dalam pembunuhan Munir. Sementara itu menanggapi Azlaini Agus dari F-PAN mengenai upaya Polri mengungkap dalang kerusuhan dan pembunuhan di Poso, Kapolri mengatakan bahwa polisi kini sudah mengantongi pelaku pembunuhan namun nama pelaku itu tak bisa dipublikasikan secara umum karena dikhawatirkan membuat sang pelaku kabur lebih jauh. Dalam kesempatan itu Kapolri juga menjawab pertanyaan anggota Komisi III DPR soal perkembangan tindak lanjut Polri dalam perkara rekening sejumlah perpira polisi yang jumlahnya sangat besar. Sutanto mengatakan, apa yang dilaporkan oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan) hanya informasi dan bukan bukti hukum yang bisa dijadikan bahan penyidikan lebih lanjut. Ketika salah seorang anggota Dewan meminta informasi yang disampaikan oleh PPATK itu, Kapolri mengatakan bahwa laporan itu tidak dapat diberikan kepada pihak lain karena undang-undang tidak mengizinkannya. Kapolri meminta kalangan DPR untuk tidak membesar-besarkan masalah rekeninmg 15 perwira tinggi Polri tersebut karena apa yang beredar di media massa tidak sesuai dengan fakta yang ada.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006