Jakarta (ANTARA) - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih penanganan perkara dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) mantan Ketua DPR Setya Novanto dari Bareskrim Polri.
Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan Bareskrim sudah melakukan penyidikan dugaan TPPU atas diri Setya Novanto, namun penanganan perkara itu mangkrak.
“Karena di Bareskrim tidak jalan lagi kasusnya, ini harus diambil alih KPK karena perkara pokok korupsi e-KTP itu ada di KPK,” kata Boyamin saat dikonfirmasi di Jakarta, Sabtu.
Ia menjelaskan, perkara dugaan TPPU korupsi proyek e-KTP yang merugikan keuangan negara mencapai Rp2,3 triliun itu harus diusut tuntas.
Baca juga: MAKI harap aksi nyata perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura
MAKI telah melayangkan praperadilan atas mangkraknya kasus TPPU yang ditangani oleh Bareskrim Polri. Namun, gugatan tersebut ditolak hakim praperadilan dengan alasan belum ada surat perintah penghentian penyidikan (SP3) secara tertulis.
“Nanti saya gugat ulang, kayak Century sudah enam kali kan menang (gugatan), mudah-mudahan setelah digugat Bareskrim persedia menyerahkan (perkara) kepada KPK. Jadi ini, MAKI mendesak KPK ambil alih, dan memberikan warning karena nanti bulan Maret digugat kalau tidak ada penyerahan atau pengambilalihan dari KPK kasus TPPU Setya Novanto,” ujar Boyamin.
Selain mengambil alih, KPK juga didesak menambah tersangka baru TPPU setidaknya pada pengusaha Made Oka Masagung yang diduga membantu Setya Novanto menyembunyikan uang hasil korupsi e-KTP dengan modus transaksi investasi di Singapura.
Dalam kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto divonis 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan. Bekas Ketua Umum Partai Golkar itu juga diwajibkan membayar uang pengganti 7,3 juta dolar AS dikurangi Rp 5 miliar yang telah dititipkan kepada penyidik.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menilai Setya Novanto terbukti menerima 7,3 juta dolar AS dari proyek e-KTP. Setya yang saat proyek berjalan menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar disebut mempengaruhi proses penganggaran, pengadaan barang dan jasa, serta proses lelang.
Dalam berkas tuntutan, jaksa KPK mengatakan korupsi e-KTP yang menjerat Setya Novanto bercita rasa pencucian uang. Alasannya, dalam persidangan terungkap fakta adanya metode baru untuk mengalirkan duit hasil kejahatan ke luar negeri tanpa melalui sistem perbankan nasional. Uangt itu melalui perjalanan melintasi enam negara, yakni Indonesia, Amerika Serikat, Mauritius, India, Singapura dan Hong Kong.
“Untuk itu tidak berlebihan rasanya jika penuntut umum menyimpulkan inilah korupsi bercita rasa TPPU,” kata jaksa KPK Irene Putri dalam sidang pembacaaan tuntutan 29 Maret 2018.
Seperti diketahui, Setya Novanto menerima duit korupsi e-KTP melalui perantara, antara lain lewat Made Oka Masagung, yang juga sudah divonis 10 tahun penjara oleh PN Tipikor Jakarta pada 5 Desember 2018. Made Oka harus mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Tangerang, Banten.
Bersama Made Oka, majelis hakim Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga menghukum mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera Irvanto Hendra Pambudi Cahyo yang juga keponakan Setya Novanto, yang kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Sukamiskin Bandung.
Irvanto terbukti merekayasa proses lelang dalam proyek pengadaan e-KTP. Juga terbukti menjadi perantara suap untuk sejumlah anggota DPR.
Selain itu juga, Irvanto dinilai secara langsung maupun tidak langsung turut serta memenangkan perusahaan tertentu dalam pengadaan e-KTP.
Baca juga: MAKI minta Kapolri tangkap ER terkait kasus pailit PT BEP
Baca juga: MAKI laporkan dugaan pungli di Bandara Soeta ke Kejati Banten
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2022