Film berfokus pada Futaba Sachino (Rie Miyazawa) -- seorang wanita yang memiliki sisi lembut dan keras pada dirinya. Ia memiliki seorang putri yang bernama Azumi (Hana Sugisaki).
Suatu hari, Futaba mengetahui bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Futaba pun memutuskan untuk melakukan empat hal sebelum ia meninggal.
Pertama, adalah mencari suaminya, Kazuhiro Sachino (Joe Odagiri), yang hilang agar bisa meneruskan usaha pemandian keluarga Sachino, dan mencoba kembali mendekatkan keluarganya yang terpisah selama bertahun-tahun. Misinya yang kedua adalah menyiapkan Azumi untuk bisa menjadi mandiri.
Lalu, ketiga, menemukan pria yang tepat untuk Azumi, dan keempat, tentang rahasianya yang tak seorang pun tahu.
Baca juga: "Angel Sign", film yang bercerita tanpa kata-kata
Baca juga: Cerita Kora Kengo kesulitan cari film Indonesia
Dalam perjalanannya, Futaba bertemu dengan banyak orang yang kemudian berarti padanya, untuknya, dan untuk mereka sendiri. Perjalanan Futaba ditulis dan dirangkai dengan apik oleh penulis dan sutradara Ryota Nakano.
Nakano menampilkan konflik demi konflik dengan mulus -- baik konflik Futaba dengan anaknya, dengan suaminya, bahkan dengan batinnya sendiri.
Sutradara juga mampu menggabungkan konflik yang berat tersebut dengan sentuhan lain seperti bumbu komedi yang menggelitik, hingga kehangatan antar anggota keluarga selayaknya sebuah pelukan bagi siapa pun yang menontonnya.
Pembangunan cerita dan pengembangan karakter pun tersusun dengan sangat rapi sejak awal. Ditambah dengan lagu-lagu tema yang sesuai dengan adegan yang ditampilkan, membuat film ini mudah ditangkap oleh penonton, dan intensi dari sang pembuat film pun rasanya tersampaikan dengan jelas.
Alur dan cerita yang dibangun dengan runtut sejak awal berhasil membangun klimaks cerita yang baik. Film pun terasa pas dalam segi pacing -- tidak terlalu lama dan tidak terlalu sebentar dalam menyajikan cerita ini.
Kedua hal ini pun tak terlepas dari akting para pemain utama di dalam film, terutama Rie Miyazawa dan Hana Sugisaki. Keduanya mampu memberikan penampilan dan menggambarkan hubungan serta dinamika ibu-anak dengan menyentuh dan emosional.
Maka, tak mengherankan jika keduanya juga berhasil memenangkan sejumlah penghargaan bergengsi di Jepang sebagai pemeran utama dan pendukung wanita terbaik, seperti di Hochi Film Award ke-41, Japan Academy Prize ke-40, dan Japanese Movie Critics Awards ke-26.
Di sisi lain, terdapat sejumlah karakter yang begitu mencuri perhatian. Sebut saja penampilan Aoi Ito sebagai Ayuko Katase dan Yukiko Shinohara sebagai Kimie Sakamaki. Keduanya memberikan penampilan yang rasanya sukar untuk dilupakan terlepas dari porsinya tidak terlalu banyak.
Lebih lanjut, terdapat satu hal yang unik dan menjadi jantung dari film ini, yaitu latarnya yang banyak mengambil di pemandian umum (sento) Sachino yang dioperasikan oleh Futaba dan keluarganya.
Cerita di film ini berawal dari sebuah sento kecil di Tokyo. Sento adalah tempat pemandian air panas untuk umum di Jepang. Orang yang ingin mandi dipungut biaya masuk.
Pria dan wanita mandi di kamar mandi terpisah. Satu bak mandi digunakan untuk mandi berendam bersama-sama oleh beberapa orang sekaligus.
Berendam di tempat pemandian umum seperti sento merupakan salah satu hal utama dalam budaya mandi di Jepang.
Dengan berendam, orang Jepang dapat menghangatkan atau mendinginkan badan selama musim dingin ataupun musim panas. Berendam juga dianggap sangat baik bagi kesehatan maupun kulit.
Baca juga: Mamoru Hosoda berbagi inspirasi di balik film anime "Belle"
Sento merupakan pemandian umum Jepang yang telah ada sejak zaman dahulu. Zaman dahulu, saat rumah-rumah di Jepang belum memiliki bathtub, orang Jepang terbiasa pergi ke sento untuk mandi dan berendam.
Pemandian umum sudah menjadi hal langka di kota besar seperti Tokyo. Meskipun tidak sesering zaman dulu, sampai sekarang pun orang Jepang masih pergi ke sento untuk menikmati berendam di bak mandi yang lebih luas.
Kehadiran sento sebagai latar utama film seakan menjadi sebuah penggambaran akan hausnya orang-orang -- termasuk keluarga -- untuk kembali membangun sebuah hubungan dekat dengan sekadar bercengkerama dan menghabiskan waktu berendam bersama-sama.
Hal ini lah yang menarik dari menonton sebuah film dari berbagai belahan dunia. Seperti "Her Love Boils Bathwater", penonton dapat mendapatkan wawasan akan budaya unik seperti berendam, yang ternyata memiliki makna tersendiri dan menjadi pemantik dari jalannya cerita di film.
Beralih ke aspek visual, "Her Love Boils Bathwater" menampilkan gambar-gambar yang begitu cantik -- dengan perpaduan warna-warna pastel sehangat musim panas -- memberikan kedekatan emosional untuk film dan penontonnya.
Sutradara juga memadukan potongan-potongan adegan yang berlatarkan di masa kini dan masa lalu. Tak hanya itu, tiap gambar yang ditampilkan memiliki referensi tertentu, menyuguhkan audiens kepingan puzzle untuk disusun dalam film ini.
Secara keseluruhan, "Her Love Boils Bathwater" bisa dibilang layak untuk disaksikan bersama orang-orang terkasih. Dengan perpaduan cerita, karakter, visual dan musik yang terasa lekat, rasanya membawa penonton seakan berada di sento milik keluarga Sachino -- hangat -- sehangat air dan musim panas di Jepang.
"Her Love Boils Bathwater" merupakan salah satu film yang akan ditayangkan di Japanese Film Festival (JFF) Online 2022 pada 14-27 Februari 2022.
JFF Online menampilkan sebanyak 20 film Jepang pilihan dari beragam genre secara gratis dan daring di situs JFF di https://jff.jpf.go.jp/watch/jffonline2022/.
Baca juga: Daftar tontonan di Japanese Film Festival Online 2022
Baca juga: Sambut tahun 2022 dengan dua festival film Japan Foundation
Baca juga: Lima film Jepang akan diputar gratis jelang JFF Online 2022
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2022