Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Wahid Foundation Mujtaba Hamdi mengatakan perlu ada penjernihan pemahaman masyarakat dalam memaknai terminologi Islamofobia, yaitu ketakutan sangat berlebihan terhadap Islam atau penganut Islam, yang sering dipakai oleh oknum tidak bertanggungjawab untuk memojokkan Pemerintah dan memecah belah umat.
"Islamofobia ini deskripsi sosiologis terhadap gejala, bagaimana orang-orang mayoritas Barat memandang Islam sebagai ancaman. Islamofobia tidak ada di Indonesia. Ini kekeliruan representasi,” katanya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.
Menurut Mujtaba, fenomena Islamophobia muncul akibat adanya sebagian kecil kelompok muslim, yang menyalahgunakan ajaran agama Islam untuk melakukan tindak kekerasan dan kebencian terhadap mereka yang berbeda pandangan.
Selain itu, tambahnya, ketakutan berlebihan terhadap Islam itu juga dijadikan alasan untuk melakukan teror, sehingga menggeneralisasikan umat Islam sebagai ancaman.
"Di Indonesia, penggunaan term Islamofobia justru bertujuan untuk membela perilaku kekerasan atau kebencian terhadap yang lain, yang dilakukan oleh sebagian kecil umat Islam. Jadi ini ada fenomena kebalikan," jelasnya.
Mujtaba menyayangkan fenomena tersebut, terlebih kelompok radikal memang cenderung sering melakukan playing victim ketika dikritik atas tindakan mereka yang menyebarkan kebencian atas nama ajaran agama.
"Mereka menggunakan terminologi Islamofobia untuk menjustifikasi kebencian terhadap orang lain. Ketika di kritik (atas perbuatannya), mereka malah playing victim," ungkapnya.
Ia menegaskan sejatinya yang menuai kritik tersebut bukanlah Islam sebagai sebuah agama, namun oknum yang mengatasnamakan Islam. Hal inilah, yang menurutnya, harus dipahami oleh masyarakat.
"Bukan Islam-nya, tapi tindakan mereka itulah yang harusnya dikritik," tegasnya.
Namun demikian, Mujtaba melihat adanya permainan psikologis yang dimainkan oleh kelompok radikal, sebagai upaya untuk menimbulkan perpecahan dan memojokkan Pemerintah atas kebijakan yang dibuat.
"Pertama, menggunakan terminologi persatuan umat. Kedua, Islamofobia ini adalah defense mechanism mereka, ketika mereka dikritik atas perbuatannya," tuturnya.
Pola pergerakan kelompok radikal tersebut, lanjutnya, dengan menciptakan ketidakharmonisan di tengah masyarakat. Lalu dilanjutkan dengan meminta pembelaan atas nama kesatuan umat Islam. Puncaknya adalah dengan menganggap siapapun yang tidak membela dan mengkritik adalah Islamofobia, katanya.
"Padahal di Indonesia sendiri tidak ada gejala sosial yang merujuk pada praktik Islamofobia. Muslim, sebagai mayoritas, justru sangat difasilitasi oleh negara," jelasnya.
Dia mengatakan selama ini Pemerintah, dengan segala sumber daya yang ada, sangat memfasilitasi, baik muslim maupun seluruh penganut agama lain, untuk beribadah sesuai keyakinan dan kepercayaannya masing-masing.
"Bagaimana Pemerintah Islamofobia kalau Pemerintah juga banyak memfasilitasi umat Islam; dari mulai urusan haji, memberi pendanaan untuk tempat ibadah, bahkan pendidikan juga difasilitasi, dan lain sebagainya," tuturnya.
Jebolan Pasca Sarjana Antropologi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dari Universitas Indonesia (Fisip UI) itu menilai perlu adanya strategi konkret dan efektif untuk memberantas oknum yang kerap menyalahartikan istilah Islamofobia untuk membuat kericuhan di tengah masyarakat.
"Perlu edukasi publik untuk memperlihatkan sesungguhnya seperti apa gejala yang merujuk pada Islamofobia, agar tidak digunakan di luar konteksnya," ujarnya.
Baca juga: Ma'ruf Amin sayangkan citra mulia Islam dirusak ekstremisme
Baca juga: BNPT tegaskan terorisme musuh agama dan negara
Baca juga: Mahfud tegaskan tak ada Islamofobia di Indonesia
Pewarta: Joko Susilo
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2022