Meskipun Indonesia hanya memiliki luas hutan mangrove kurang lebih 2 persen dari total hutan kita, namun akan mampu menyimpan karbon sebesar 10 persen dari semua emisi yang ada
Jakarta (ANTARA) - Ekosistem mangrove di Indonesia kembali menjadi sorotan menjelang berlangsungnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang rencananya akan diadakan Oktober 2022 di Provinsi Bali dengan mangrove akan menjadi salah satu yang diperlihatkan kepada para pemimpin dunia.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya juga mengatakan bahwa mangrove akan membawa nama baik dan menunjang kepemimpinan Indonesia dalam Presidensi G20 pada tahun ini.
Para pemimpin negara anggota G20, jelasnya, akan mengunjungi Kawasan Mangrove Conservation Forest di Kota Denpasar dan menjadikan mangrove di kawasan Tahura Ngurah Rai sebagai "show case" saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 diadakan di Bali pada Oktober 2022.
Keberhasilan dari pengelolaan kawasan mangrove di Bali diharapkan akan memberikan gambaran komitmen Indonesia dalam upaya menangani perubahan iklim. Upaya-upaya itu telah diperlihatkan melalui upaya restorasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove, gambut serta lahan kritis lain di Tanah Air.
Selain itu Menteri LHK juga menegaskan pentingnya peran mangrove dalam upaya mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) nasional, mengingat kemampuan ekosistem itu untuk menyerap karbon.
"Meskipun Indonesia hanya memiliki luas hutan mangrove kurang lebih 2 persen dari total hutan kita, namun akan mampu menyimpan karbon sebesar 10 persen dari semua emisi yang ada," kata Siti Nurbaya.
Menurut data Peta Mangrove Nasional (PMN) 2021, sebaran luas mangrove di Tanah Air adalah seluas 3.364.080 hektare yang terdiri dari 2.661.281 hektare dalam kawasan serta 702.799 hektare di luar kawasan.
Jumlah itu juga memperlihatkan penambahan signifikan jumlah kawasan dibandingkan 2013-2019 yang mencatat luasan 3.311.207 hektare.
Luasan pada 2021 sendiri terdiri dari berbagai jenis varian mulai dari yang berada dalam kondisi baik sampai rusak.
Terkait hal tersebut, pemerintah menargetkan akan melakukan rehabilitasi mangrove di kawasan seluas 600.000 hektare yang akan dilakukan oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) sampai dengan 2024.
Dari target tersebut, BRGM sepanjang 2021 telah berhasil melakukan rehabilitasi mangrove di lahan seluas 34.911 hektare dari target 33.000 hektare. Target rehabilitasi itu mencakup lahan seluas 29.500 hektare di sembilan provinsi prioritas dan 3.500 hektare di 23 provinsi lain.
BRGM semula akan melakukan rehabilitasi di lahan seluas 83.000 hektare pada 2021 tapi terjadi revisi target akibat pandemi COVID-19.
Kepala BRGM Hartono menyampaikan bahwa dirinya optimistis target 600.000 hektare, salah satu proyek rehabilitasi mangrove yang terbesar di dunia, dapat dilakukan dengan kolaborasi berbagai pihak.
Dia menyebut terdapat sekitar 54.000 hektare dalam kondisi rusak dan 180.000 hektare sedang. Selain itu terdapat pula 780.000 hektare habitat mangrove yang sudah dikonversi menjadi berbagai peruntukan.
"Percepatan rehabilitasi mangrove yang akan kita lakukan tentu juga mencakup kawasan-kawasan yang dulunya dalam bentuk habitat mangrove tetapi karena satu dan lain hal telah dilakukan konversi menjadi non-kawasan hutan," katanya.
Dalam melakukan percepatan rehabilitasi mangrove dilakukan pendekatan lanskap dengan BRGM telah mengidentifikasi 130 unit lanskap di seluruh Indonesia dengan yang terbesar berada di Sumatera.
Dengan pendekatan lanskap itu maka diperlukan kesepahaman dan kesepakatan di antara para pemangku kepentingan di lahan tersebut. Hal itu karena rehabilitasi di satu titik dalam sebuah lanskap akan mempengaruhi titik lain di kawasan yang sama.
Lanskap mangrove juga mozaik yang terdiri dari berbagai macam peruntukan seperti silvofishery, ekowisata dan pemanfaatan secara berkelanjutan.
Untuk itu, ditegaskan bahwa rehabilitasi mangrove tidak hanya terkait penanaman tapi juga memastikan bahwa dalam jangka panjang mangrove yang telah direhabilitasi dapat memberikan manfaat berkelanjutan.
Oleh sebab itu BRGM terus melakukan fasilitasi penguatan desa di sekitar ekosistem mangrove yang diharapkan dapat mendorong komunitas sekitar untuk melakukan pengelolaan dalam bentuk perhutanan sosial dan sejenisnya.
"Pekerjaan ini memang dapat mencapai tidak hanya realisasi fisik berupa tanaman mangrove tetapi juga penguatan masyarakat desa, dalam bentuk keterlibatan dalam perhutanan sosial," katanya.
Dalam percepatan rehabilitasi, Hartono juga menyoroti bahwa selain menggunakan APBN dan dikerjakan oleh masyarakat, terdapat pula potensi mendorong capaian dengan bantuan kewajiban rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS) oleh pemangku izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).
Terdapat pula pemodelan investasi untuk kawasan mangrove yang berfungsi sebagai penyimpanan dan penyerapan karbon, sebuah bagian dari perdagangan karbon yang kini sedang didorong pemerintah.
Fokus tambak
Direktur Program Kelautan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Muhammad Ilman mengatakan dalam upaya rehabilitasi mangrove perlu mempertimbangkan bahwa pertambakan menjadi salah satu faktor kerusakan ekosistem tersebut.
Untuk itu upaya rehabilitasi mangrove salah satunya perlu dilakukan di area pertambakan. Namun, terdapat dua isu dalam melakukannya yaitu penduduk yang akan kehilangan mata pencaharian ketika sebagian kawasan tambak direhabilitasi dan potensi masyarakat yang merasa kehilangan tanah.
"Untuk keberhasilan 600.000 hektare ini kita tidak punya banyak pilihan, yang pertama dilakukan bekerja sama dengan para petambak untuk merestorasi tambak yang sudah terlanjur dibuka. Yang kedua memastikan petambak merasa aman bahwa meski restorasi dilakukan, mereka tetap punya akses ke tambak jadi perlu diberi kepastian mengenai status lahan," katanya.
Selain itu, perlu juga dipastikan mata pencaharian masyarakat sekitar ekosistem tetap ada.
Menurutnya terdapat beberapa cara mengatasi beberapa isu tersebut, salah satunya memastikan produksi udang yang sama atau bertambah meski area pertambakan mengecil.
Dia mengatakan bahwa upaya peningkatan produksi itu sebenarnya telah dimiliki dengan canggihnya teknologi perikanan sekarang. Untuk itu perlu peningkatan kolaborasi antara pemerintah dengan petambak untuk mendorong bertambahnya produksi di kawasan yang menjadi target rehabilitasi.
Solusi kedua adalah mencarikan penghasilan lain dari ekosistem mangrove, seperti produksi gula dari jenis mangorve nipah. Terdapat pula potensi produk lain bukan kayu yang berpotensi diolah di kawasan mangrove seperti madu, kosmetik dan obat-obatan.
Untuk mencapai hal itu, katanya, membutuhkan waktu sehingga perlu dipersiapkan mekanisme sejak sekarang.
Ilman mendorong adanya investasi anggaran atau proyek restorasi yang tidak hanya berfokus pada penanaman, tetapi diberikan kepada cara meningkatkan budidaya di lahan yang lebih kecil dan kepastian kepemilikan lahan.
Dia meyakini jika hal-hal tersebut dapat tercapai maka masyarakat akan melakukan rehabilitasi mangrove secara mandiri.
Baca juga: KLHK: Indonesia perlu rehabilitasi 701 ribu hektare kawasan mangrove
Baca juga: Jelang G20 pastikan dua kawasan mangrove di Denpasar tanpa sampah
Baca juga: BRGM: Kerusakan ekosistem mangrove kategori kritis capai 637.000 ha
Baca juga: 18 persen dari 3 juta ha hutan bakau di Indonesia rusak, sebut KLHK
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022