Kolombo (ANTARA News) - Sri Lanka hari Senin mengakui untuk pertama kalinya bahwa warga sipil mungkin tewas selama ofensif militernya terhadap gerilyawan Macan Tamil pada 2009 yang berbuntut tuduhan-tuduhan mengenai kejahatan perang.
Sebuah laporan kementerian pertahanan yang berjudul "Analisis Faktual Operasi Kemanusiaan" mengatakan, mereka mengikuti "kebijakan korban sipil nol", namun menghadapi musuh yang berat, mereka tidak mungkin bisa sepenuhnya melaksanakan ketentuan itu, lapor AFP.
"Meski pemerintah Sri Lanka memiliki niat jelas dan langkah-langkah pencegahan telah diambil, tidak mungkin dalam perang besar ini, melawan musuh kejam yang secara aktif membahayakan warga sipil, korban sipil bisa dihindari," kata laporan setebal 161 halaman itu.
Presiden Mahinda Rajapakse, yang juga panglima tertinggi angkatan bersenjata, memperingati tahun pertama kemenangan atas Macan Tamil tahun lalu dengan menekankan bahwa tidak satu pun warga sipil dibunuh oleh pasukannya.
"Senapan kami tidak ditembakkan ke satu warga sipil pun," kata Rajapakse pada Juni tahun lalu.
Ia juga menyatakan tidak akan mengizinkan prajuritnya dibawa ke pengadilan kejahatan perang internasional.
Sejumlah pejabat militer secara pribadi mengakui bahwa ada korban sipil selama penumpasan Macan Tamil itu, namun laporan Senin itu merupakan pengakuan resmi pertama pemerintah.
Laporan itu tidak memberikan perkiraan jumlah korban sipil yang tewas, namun kelompok-kelompok HAM mengatakan jumlahnya bisa mencapai 40.000.
Laporan PBB belum lama ini menuduh pasukan pemerintah melakukan kejahatan perang, dengan mengeksekusi para pemimpin pemberontak yang menyerah.
Menurut perkiraan PBB, sedikitnya 7.000 warga sipil tewas dalam ofensif final pasukan Sri Lanka terhadap Macan Tamil yang dikalahkan dua tahun lalu.
Sri Lanka membantah segala tuduhan kejahatan perang dan menolak seruan-seruan bagi penyelidikan internasional.
Pemerintah Sri Lanka pada 18 Mei 2009 mengumumkan berakhirnya konflik puluhan tahun dengan Macan Tamil setelah pasukan menumpas sisa-sisa kekuatan pemberontak tersebut dan membunuh pemimpin mereka, Velupillai Prabhakaran.
Pernyataan Kolombo itu menandai berakhirnya salah satu konflik etnik paling lama dan brutal di Asia yang menewaskan puluhan ribu orang dalam berbagai pertempuran, serangan bunuh diri, pemboman dan pembunuhan.
Macan Pembebasan Tamil Eelam (LTTE) juga telah mengakui bahwa Velupillai Prabhakaran tewas dalam serangan pasukan pemerintah Sri Lanka.
Juga dinyatakan tewas dalam operasi final militer adalah dua deputi Prabhakaran -- pemimpin Macan Laut Kolonel Soosai dan kepala intelijen LTTE Pottu Amman.
Tokoh penting lain Macan Tamil yang juga tewas adalah putra Prabhakaran dan calon penggantinya, Charles Anthony (24), pemimpin sayap politik B. Nadesan dan pemimpin Sekretariat Perdamaian LTTE yang sudah tidak berfungsi lagi, S. Pulideevan.
Presiden Sri Lanka Mahinda Rajapakse telah beberapa kali mendesak pemberontak Macan Tamil menyerah untuk menghindari pembasmian total.
Rajapakse, yang juga panglima tertinggi angkatan bersenjata, juga menolak seruan-seruan bagi gencatan senjata dan menekankan bahwa Macan Tamil harus meletakkan senjata dan mengizinkan warga sipil keluar dari daerah-daerah yang masih mereka kuasai.
Pertempuran antara pasukan pemerintah dan pemberontak LTTE meningkat sejak pemerintah secara resmi menarik diri dari gencatan senjata enam tahun pada Januari 2008.
Pembuktian independen mengenai klaim-klaim jumlah korban mustahil dilakukan karena pemerintah Kolombo melarang wartawan pergi ke zona-zona pertempuran.
PBB memperkirakan, lebih dari 100.000 orang tewas dalam konflik separatis Tamil setelah pemberontak Macan Tamil muncul pada 1972.
Sekitar 15.000 pemberontak Tamil memerangi pemerintah Sri Lanka dalam konflik etnik itu dalam upaya mendirikan sebuah negara Tamil merdeka.
Masyarakat Tamil mencapai sekitar 18 persen dari penduduk Sri Lanka yang berjumlah 19,2 juta orang dan mereka terpusat di provinsi-provinsi utara dan timur yang dikuasai pemberontak. Mayoritas penduduk Sri Lanka adalah warga Sinhala. (M014/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011