Jakarta (ANTARA News) - Banyak peristiwa media belakangan ini: Skandal Murdoch dan Tabloid News of the World, ketergesa-gesaan media barat menuduh “teroris Islam” di balik Bom Norwegia, dan ...... Nazarudin, tersangka korupsi yang berkicau.
Mari kita pusatkan perhatian pada apa yang terjadi di dalam negeri lebih dulu. Pertanyaannya: apakah Nazarudin narasumber yang layak dipercaya? Menurut kacamata siapa? Kalau tak layak dipercaya, apa efeknya terhadap opini publik?
Menurut teori jurnalistik, narasumber paling valid adalah narasumber primer, yang biasanya melekat pada diri korban, pelaku, atau saksi mata. Mereka ini mengalami sendiri, melihat sendiri. Jadi, sulit dibantah kebenarannya.
Bila media tak mendapatkan narasumber primer (misalnya pelaku kabur, korban tewas, tak ada saksi mata), narasumber valid nomor dua adalah narasumber yang memiliki kewenangan (otoritas). Misalnya polisi dalam hal kecelakaan atau kejahatan; direktur perusahaan dalam hal pemogokan buruh, ketua partai dalam hal skandal anggota partai. Urutan ketiga adalah narasumber berkompeten. Biasanya ini diisi oleh kalangan pengamat, akademisi, dan para komentator.
Dalam hal kasus rekening gendut kepolisian, Susno Duaji adalah narasumber primer karena dia saksi (mengetahui); Agus Tjondro (PDIP) adalah pelaku, demikian juga Vincent (Asian Agri). Nazarudin adalah tersangka. Bila saksi saja primer, apalagi tersangka. Apapun statement-nya, pasti layak berita.
Namun ada pihak-pihak yang gerah dengan kicauan Nazarudin (terutama Partai Demokrat tentunya), dan mencoba mengkritik perilaku media massa, khususnya televisi, yang dianggap memberi porsi berlebihan pada N. Bila pertanyaannya "apakah N narasumber valid?", jawabannya tentu "ya".
Namun saya agak sependapat dengan rekan-rekan dari Partai Demokrat bahwa porsi yang diberikan agak terlalu berlebihan. Ini sudah out of proportion. Pelarian, tersangka, pembohong (beberapa statementnya telah terbukti bohong) kok diperlakukan sebagai prime source.
Namun saya juga kurang sependapat dengan Farid Gaban, veteran jurnalis, yang saya kutip dari milis jurnalisme. Farid mempersoalkan "Bila keterangan-keterangan narasumber belum teruji, apakah itu sudah layak berita?"
Pertanyaan Farid ditujukan kepada Iwan Pilliang yang mendapatkan kesempatan melakukan wawancara khusus melalui skype. Maksud Farid Gaban tentu baik, yaitu agar para konsumen media terlindungi dari orang asal omong dan omong kosong belaka.
Namun bila para jurnalis harus dapat menjamin bahwa keterangan narasumbernya sudah teruji kebenarannya, bisa-bisa media cetak tidak terbit, TV tidak siaran berita, dan media online berhenti bekerja.
Dalam ajarannya yang lain (FG kami anggap sebagai "guru" jurnalisme di Indonesia), FG mengatakan bahwa kebenaran jurnalis adalah kebenaran prosedural. Sejauh prosedur dilaksanakan dengan benar, meski akhirnya beritanya salah, jurnalis tak bisa disalahkan.
Kesalahannya adalah without malice. Apalagi, fakta jurnalis tentu bukan fakta hukum. Bicara hukum, semua harus ada bukti fisiknya. Bicara jurnalisme, bahkan isu atau gosip atau bisikan adalah fakta jurnalistik. Tentu jurnalis dalam hal ini mesti tak mudah mengumbar "isu, gosip" dari narasumber yang tak teridentifikasi. Sejauh narasumbernya jelas, isu atau gosip adalah fakta jurnalistik.
Meskipun demikian, kita juga mesti ingat petuah Bill Kovach dalam bukunya Sembilan Elemen Jurnalisme. "Jurnalis mesti mewaspadai motivasi narasumber, terutama narasumber anonim. "Jangan-jangan ada orang lempar batu sembunyi tangan. Kasus Vincent, narasumber Tempo di berita Asian Agri yang diduga menggelapkan pajak, masih menarik dipelajari.
Vincent bukan dipenjara setelah menjadi whistle blower, seperti yang disiarkan oleh beberapa media dan kalangan jurnalis. Vincent dipenjara lebih dulu karena menggelapkan uang perusahaan. Setelah dipenjara, baru dia meniup peluit. Mungkin tiupannya signifikan, valid, tetapi motif Vincent mesti dipertanyakan: apakah untuk membongkar kejahatan pajak demi bangsa Indonesia; atau semata-mata membalas dendam pada perusahaannya sendiri yang memasukkannya ke dalam penjara karena mencuri?
Kasus Nazarudin sejenis dengan kasus Vincent, berbeda dengan Susno Duaji dan Agus Tjondro. Nazarudin terlibat kasus korupsi Wisma Atlet. Dia buru-buru kabur. Di tempat pelariannya, dia meniup peluit yang merusak nama baik orang-orang dan Partai Demokrat. Apa motivasi Nazarudin? Menyelamatkan diri sendiri? Membalaskan sakit hatinya pada Anas? Membela negara? Dibayar kelompok lain untuk menghancurkan PD? Banyak sekali kemungkinan.
Kembali pada persoalan ukuran validitas narasumber, N masih layak dan menarik sebagai narasumber berita kasus korupsi. Dia juga bisa menjadi pintu masuk terbongkarnya skandal korupsi yang lebih besar yang melibatkan para pejabat negara, anggota DPR, dan petinggi partai.
Namun kecemasan teman-teman di Partai Demokrat dan "guru" jurnalistik Farid Gaban, patut menjadi bahan renungan kalangan media massa. Sudah proporsionalkah pemuatan dan penayangan kicauan Nazarudin? Sudah seimbangkah pemberitaannya? Jangan lupa pula pada esensi kasus, yaitu Nazarudin selaku tersangka kasus korupsi, bukan whistle blower. Kita mesti membedakan tiupan peluit (pada saat semua masih gelap), atau kilah (upaya bela diri tersangka).
Di tengah kebebasan media massa sekarang, diperlukan para wartawan yang berpijak pada prosedur jurnalistik yang benar; para redaktur yang bersih dari agenda setting; dan konsumen media yang lebih cerdas dan berdaya.
(***)
@sirikitsyah
www.indonesianmediawatch.wordpress.com
www.sirikitsyah.wordpress.com
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011
mempengaruhi opini publik -- maka kita perlu hati-hati, karena berita
tentang Nazaruddin memang masih akan terus berlanjut -- sementara
pendekatan hukum yang penting dalam kasus ini masih pula jauh darifinal. Kita bisa melihat sepotong-sepotong berita tentang kasus N. Tapijurnalis jangan terbak ke opini yang yang jauh melewati jalur hukum itusendiri. Kita lihat saja nanti proses pengadilan yang paling berwenang untuk memutuskan.